Rabu, 12 Agustus 2009

SASTRA INDONESIA BERWARNA LOKAL

Oleh : Antilan Purba


Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Apa sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimana pandangan pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimanakah sejarah awal perkembangan sastra Indonesia berwarna lokal? Berapa jeniskah sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah nilai sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah sikap pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal ?
Ketujuh pertanyaan ini sebenarnya masih dapat diperbanyak lagi. Namun, ketujug pertanyaan itu sudah mewakili dasar-dasar sastra Indonesia berwana lokal yang perlu diuraikan. Penguraian ini diharapkan akan membuka cakrwala pemikiran tentang sastra Indonesia berwana lokal. Dengan demikian penilaian dan pemanfaatan sastra Indonesia berwarna lokal dapat dilakukan dan dikembangkan dalam karya sastra kreatif dalam puisi, cerita pendek, maupun novel.

Mengapa Ada

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat baru. Di dalamnya terdapat masyarakat lama atau masyarakat Indonesia terdiri atau dibangun masyarakat baru yang sekaligus masyarakat lama atau etnis. Seniman sastra atau sastrawan hidup dalam dua dunia sosial budaya etnis dan dunia sosial budaya Indonesia.
Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Jawabnya, karena terdapat bentuk sastra yang lahir melalui perjumpaan dan kesepakatan antarsosial budaya etnis dengan sosial budaya lainnya, termasuk budaya, agama, bahkan budaya Barat. Di dalam perjalanannya sosial budaya etnis masih berperan sebagai subjek dalam pembentukan nilai baru. Kebaruan produk yang ikut serta atau dibawa dalam sastra Indonesia.
Selain itu, karena nilai-nilai sosial budaya lama atau etnis atau tradisional bukanlah sebagai sisa atau bekas dalam karya sastra Indonesia yang diciptakan sastrawan. Warna lokal tidak hanya pada kulit luarnya, tetapi terdapat pada nilai esensinya. Demikian juga, karena nilai-nilai sosial etnis/ lama masih cukup mendalam penghayatannya, khususnya generasi sastrawan 1960-an.

Sastra Indonesia Berwarna Lokal

Istilah warna lokal tidak diketahui secara pasti dipergunakan di Indonesia. Namun secara histeris sastra Indonesia telah mencatat dua periode munculnya warna lokal secara besar-besaran. Yaitu periode sebelum perang dunia I dengan warna lokal Minangkabau. Priode sesudahnya dengan warna lokal daerah nusantara. Tentu saja dua priode pemunculan warna lokal ini bukanlah priode sepanjang sejarah perjalanan sastra Indonesia, warna lokal tetap hadir. Kehadirannya tetap menunjuk pada kenyataan sosial budaya banyak daerah ( Mahmud, 1984:25).
Pradopo berpendapat sama dengan Mahmud. Ia mengungkapkan bahwa akhir sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru mulai tampak unsur kedaerahan di dalam sastra nasional, entah disadari atau tidak. Unsur kedaerahan itu berupa latar sosial budaya Minangkabau, Bali dan Jawa (1995:61).
Istilah warna lokal digunakan Jakub Sumardjo (1979), Kusman K Mahmud (1981), AA Navis (1985), Abdul Rozak Zaidah, Anita K Rustapa dan Haniah (1994). Istilah yang dipadamkan dengan warna lokal, “ Persoalan daerah dalam sastra Indonesia” (Mahmud,1987), “Unsur-unsur dan budaya tradisional atau etnis (Mursal, 1990), “ Sensasibilitas lokal ( Kuntowijoyo, 1994), (Purba,2006:43).
Istilah warna lokal juga dapat disamakan dengan warna daerah atau warna etnis. Semua berkait dengan budaya lokal, budaya tradisional, budaya daerah, dan budaya etnis. Istilah lain yang juga sering digunakan sebagai warna lokal adalah corak setempat warna tempatan, atau local colour (Inggris), atau coucar local (Prancis).
Pengertian sastra warna lokal adalah gambaran daerah terlalu seperti pakaian, sopan santun, dialek yang melatari kehidupan tokoh dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif. Warna temapatan, misalnya Minangkabau dalam beberapa novel Balai Pustaka (Zaidan, dkk, 1994:214).
Sastra warna tempatan adalah penggambaran, corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat (Sudjiman, 1970:17-18).
Sastra warna lokal pada hakikatnya adalah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya sastra. Secara intrinsik dalam struktur karya sastra warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Dalam kontek sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup, yaitu kenyataan sosial budaya secara luas. Komponen-komponennya antara lain adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, struktur sosial atau sistem kekerabatan ( Mahmud, 1987:25)
Sastra warna lokal atau setempat adalah sastra berwarna daerah dengan pelukisan-pelukisan daerah serta kekhasannya baik secara geografis maupun secara sosial cultural. Tema, tempat, waktu, suasana, tokoh, dan bahasa atau dialek turut menentukan warna lokal atau setempat.
Sastra warna lokal memberikan informasi kepada para pembaca mengenai suatu daerah baik mengenai keadaan alamnya maupun keadaan penduduknya (tokoh-tokohnya) Seperti adat istiadat, sifat, struktur masyarakat, bahkan sejarah dan bahasanya.
Apakah pengertian sastra Indonesia berwana lokal? Berbasis pada pengertian sastra warna lokal di atas dapat dirumuskan pengertian sastra Indonesia berwana lokal sebagai berikut
1. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan
Suatu daerah tertentu, seperti pakaian, sopan santun, dailek yang melatari kehidupan tokoh dalam sastra Indonesia.
2. Sastra Indonesia berwana lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan corak atau ciri khas suatu daerah atau masa tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan kisahan yang menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak, sikap, dan lingkungan tokohnya juga mendukung corak setemapat.
3. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas. Secara interinsik dalam suatu karya sastra Indonesia bberwarn lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, dan stukrtul sosial.

Ciri-ciri Sastra Indonesia Berwarna Lokal

Jika diperhatikan secara cermat beberapa pengertian sastra warna lokal, dan sastra Indonesia berwarna lokal di atas, maka akan ditemukan cirinya.
1. Pemakaian bahasa daeerah atau kata-kata daerah dalam karya sastra Indonesia.
2. Pemakaian gaya bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia.
3. Penggambaran geografis atau alam suatu daerah tertentu dalam karya sastra Indonesia.
4. Penggambaran latar belakang tokoh dan penokohan daerah yang terdapat dalam karya sastra Indonesia.
5. Penggambaran cara berpakaian, makan dan minum suatu masyarakt daerah yang dalam karya sastra Indonesia.
6. Penggambaran adat istiadat, agama, dan kepercayaan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
7. Penggambaran sikap, filsafat hidup suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
8. Penggambaran hubungan sosial, dan sistem sosial, atau sistem kekerabatan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
9. Penggambaran budaya daerah dalam karya sastra Indonesia.
Sastra Indonesia berwarna lokal juga dicirikan Sastrawardoyo, yaitu yang mencirikan warna lokal bukan hanya pemakaian bahasa (kata ungkapan, melainkan juga cara adat istiadat tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, cerita rakyat, dan kepercayaan yang khas bagi suatu daerah (dalam Purba, 2006:222-223).
Misalnya Atheis yang khasnya berlaku di Bandung. Gejala kehidupan masyarakat muda kota itu yang memberi warna lokal. Demikian juga dalam Burung-burung Mayar Y.B. Mangunwijaya yang menampilkan warna lokal daerh Jawa Tengah dalam cara hidup dan berperilaku tokoh-tokoh seperti Larasasti, dan terutama dalam kata yang khas dipakai di daerah itu.
Mengapa sastrawan memakai kata dan istilah bahasa daerah?
Pertama, sastrawan dalam lingkungan bahasa daerah merasa bahwa bahasa Indonesia kurang bersifat ekspresif. Dibanding dengan bahasa daerah seperti bahasa daerah seperti bahasa Jawa misalnya, bahasa Indonesia kurang mampu menjelaskan sesuatu secara ekonomis dan tepat sehingga dengan satu kata dapat dinyatakan hal atau peristiwa yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan dengan banyak kata. Misalnya Limus mempergunakan kata “menunjuk” atau “mbok-mbokan” yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan secara pan jang dan tidak langsung mengena pada itinya. Kira-kira seperti ini artinya “ mengangkat kepala untuk diletakan lebih ke atas bantal setelah merosot” dan “masih bergantung pada ibunya”.
Kedua, ada hal atau barang yang hanya khas terdapat di suatu daerah tertentu tidak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya berbagai nama binatang, makanan, dan konsep. Misalnya Ahmad Tohari dalam novelnya membiarkan bahasa daerah dalam bentuk aslinya karena tidak ada padamnya dalam bahasa Indonesia. Seperti kerokot (tanaman), tempe bengkrek (makanan), perawan kencur (tahapan perkembangan gadis), gansir, walang kekek, codot (binatang).
Ketiga, warna lokal dibangkitkan dengan penggunaan istilah dan ungkapan dalam bahasa mempunyai corak realisme dalam karya sastra. Misalnya warna lokal yang terungkap dalam kata-kata setempat yang merujuk pada jenis makanan, adat istiadat, kepercayaan rakyat, arsitektur rumah yang memberi suasana khas yang nyata dalam lingkungan hidup yang dipaparkan sastrawan.

Sikap Pembaca Terhadapnya

Ada sikap negatif terhadap sastra Indonesia bewarna lokal. Selain itu ada sikap positf. Dan sikap ini dilatarbelakangi oleh dua pandangan dan pengetahuan terhadapnya. Adalah wajar jika hal demikian terjadi jika hal demikian terjadi. Hany, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap sastra Indonesia yang berwarna lokal itu?
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal berdasarkan pada awalnya kebingungan. Pembaca karya sastra binggung sebab tak mengenal bahasa yang digunakan dalam karya tersebut bahkan sangat banyak atau berlebihan bahasa yang tak dikenal.
Sikap negatif lainnya didasarkan anggapan bahwa karya sastra Indonesia yang berwarna lokal akan melahirkan sastra model ini akan memperjauh jarak hubungan antarpembaca sastra Indonesia. Primodilis pembaca akan lebih menonjol. Kepluralan masyarakat akan terganggu.
Anggapan lainnya, sikap negatif muncul, karena sastra Indonesia berwarna lokal hanya mencari identitas diri tanpa memperdulikan identitas lainnya.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal didasarkan bahwa karya sastra Indonesia yang beragam budaya, suku, masyarakat, dan kepercayaan. Sastrawan hidup dan berkarya tidak terlepas dari keadaan “ Bhineka Tunggal Ika” atau masyarakat prular.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal juga didasarkan bahwa aspek lokalitas tidak hanya sebagai gaya ucapan atau corak baru yang cenderung etnosentris. Akan tetapi telah diolah menjadi aspek yang terbuka dan memperkaya keprularan masyarakat dan budaya Indonesia.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal akan memperluas wawasan terhadap budaya lokal lainnya dan meningkatkan penghargaan pluralitas yang hakiki dalam kehidupannya nyata. Pengenalan, pemahaman, dan pengahayatan yang tinggi terhadap nilai-nilai budaya lokal lainnya akan tumbuh rasa kedekatan batin dan kerja sama ikhlas antar budaya lokal.


Nilai-nilai kehidupan budaya lokal yang terdapat dalam karya sastra Indonesia meliputi antara lain, ungkapan setempat/lokal, cara berpakaian, adat istiadat, tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, kepercayaan yang khas dalam suatu daerah.
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal seyogianya diubah menjadi bersikap positif dengan mengenal, memahami, dan memperluas serta meningkatkan pandangan yang lebih terbuka tentang budaya lokal lainnya. Dengan keadaan yang upaya kesalingtoleransian akan terwujud dalam kehidupan nyata yang berkesadaran warna lokal.
Keterbukaan suatu wahana peningkatan pengapresiasian sastra Indonesia berwarna lokal untuk kebersamaan keIndonesiaan yang beragam yang berpengetahuan dan berwawasan baik utuh serta keikhlasan.

Medan,2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar