PENULISAN SASTRA KREATIF
Oleh : Antilan Purba
Penulisan sastra kreatif telah menjadi satu matakuliah di perguruan tinggi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Bahasa, Seni dan Sastra, Fakultas Bahasa dan Seni, Fakultas Sastra, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Istilah yang dikenal “Kreativitas Sastra” atau “Penulisan Kreatif Sastra”, atau “Menulis Kreatif”. Dalam misi Jurusan atau Prodi Sastra Indonesia tersurat membina mahasiswa sastra menjadi seorang calon sastrawan. Kondisi ini merupakan satu kemajuan yang perlu didukung, dibina, serta dikembangkan pada masa kini dan masa depan.
Apakah sastra kreatif itu? Apakah penulisan sastra kreatif itu? Apa sajakah bagian sastra kreatif itu? Bagaimanakah penulisan sastra kreatif khususnya sastra kreatif puisi dan sastra kreatif cerita pendek.
Sastra Kreatif
Istilah sastra kreatif disinonimkan dengan istilah sastra imajinatif dan sastra rekaan. Sastra kreatif atau imajinatif sastra yang berceritakan khayali dan menekankan pada penggunaan bahasa dalam arti konotatif atau banyak arti yang memenuhi syarat-syarat estetika seni (Purba, 2007:35 ; Sumardjo, 1984: 40).
Sastra kreatif bersifat imajinatif atau khayal bukan berarti sastra hasil khayalan kosong yang boleh dibuang begitu saja. Sastra kreatif dihargai orang, karena membuka mata terhadap arti tertentu di balik kenyataan-kenyataan yang terlihat. Sastra kreatif banyak memberikan semangat inspirasi atau ilham agar manusia lebih manusiawi. Hal ini terjadi karena melalui sastra kreatif sastrawan dapat menafsirkan fantasinya untuk menggambarkan adanya arti makna dan nilai-nilai yang ideal. Bagi manusia yang mungkin dalam kehidupan nyata bahkan terwujud.
Sastra kreatif atau imajinatif lebih bertugas menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru memberikan makna baru kepada realitas kehidupan dengan ungkapan lain sastra kreatif menyempurnakan realitas kehidupan. Fakta atau realitas hidup sehari-hari tidak begitu pentingnya dalam karya kreatif memberikan makna baru terhadap realitas meskipun dengan cara tidak sesuai dengan realitas (Sumardjo dan Saini, 1986 : 25).
Penulisan Sastra Kreatif
Penulisan sastra kreatif merupakan pengembangan sastra. Penulisan sastra kreatif berisi perlatihan-perlatihan menulis karya sastra. Tujuan perlatihan penulisan sastra kreatif antara lain:
Perluasan wawasan, pemikiran, dengan pemberian dasar-dasar pengetahuan mengenai bidang sastra dan nilai estetika.
Penjelasan motivasi dan orientasi bersastra.
Perkenalan dan peningkatan kemampuan teknis dalam penulisan karya sastra.
Perangsangan semangatm atau etos kreatif.
Pemukupukan bakat dan minat agar memiliki kepekaan, apresiasi, dan kemampuan kreasi.
Terkembangnya dan terciptanya iklim kondusif mendukung bagi peningkatan apresiasi sastra yang dilanjutkan dengan ekspresi atau penciptaan karya sastra.
Melalui perlatihan penulisan sastra kreatif ini diharapkan akan lahir atau hadir calon-calon sastrawan yang andal dan melahirkan karya-karya sastra bermutu.
Apa Sajakah Penulisan Sastra Kreatif
Sastra kreatif atau imajinatif digolongkan secara garis besar puisi dan prosa. Prosa dibagi lagi menjadi cerita pendek, novelet, novel, dan drama. Dalam makalah ini yang dibahas bagaimanakah penulisan sastra kreatif puisi dan cerita pendek.
Penulisan Sastra Kreatif Puisi
Sebelum diuraikan bagaimanakah penulisan sastra kreatif puisi dibahas keberadaan puisi. Isitlah puisi dalam sastra Indonesia diadopsi dalam bahasa Inggris poetry. Kata poetry juga diadaptasi dari bahasa Yunani poet mempunyai arti orang yang mencipta (karya sastra) melalui imajinasinya. Dalam bahasa Indonesia, poet diartikan sebagai penyair, atau orang yang membuat syair atau tepatnya membuat puisi. Dalam kesusastraan Indonesia, puisi juga disebut dengan sajak. Kata sajak sendiri berarti persamaan bunyi atau rima. Puisi juga disebut sajak¸ karena ragam sastra ini pada awalnya sangat memperhatikan persamaan bunyi atau rima pada akhir tiap barisnya.
Puisi berbeda dengan prosa. Puisi adalah karangan yang terikat oleh aturan bentuk tertentu, seperti pembarisan, pembaitan, persajakan (rima) yang secara bersama-sama atau sebagian menjadi metode untuk membentuk keindahan puisi sebagai seni bahasa. Sedangkan prosa adalah karangan bebas, yang memiliki metode yang berbeda, tergantung pada jenis prosanya. Misalnya, esei akan memiliki karakter dan tujuan penulisan yang berbeda dengan fiksi.
Salah satu pendekatan yang sangat membedakan antara puisi dan prosa, menurut Subagio Sastrowardoyo, adalah bahwa puisi mengintisarikan pengalaman, pikiran, dan perasaan penulisannya--ke dalam baris-baris kalimat yang pendek, ringkas, dan ditandai dengan citraan-citraan yang indah dan bermakna. Sedangkan prosa adalah sebaliknya, menguraikan pengalaman, pikiran, dan perasaan penulisannya -- ke dalam alinea-alinea yang membentuk karangan.
Pada awalnya, pada masa puisi lama sampai masa Pujangga Baru, puisi atau sajak dikenal sebagai ragam sastra yang sangat memperhatikan bentuk, yakni terdiri dari baris-baris yang membentuk bait-bait, dan jumlah baris tiap bait bersifat tetap dengan pedoman persamaan bunyi (rima) tertentu yang bersifat ketat. Untuk gurinda, misalnya tiap bait terdiri dari dua baris dengan aa atau ab. Untuk syair tiap bait empat baris dengan rima aaaa. Sedangkan untuk pantun tiap bait empat baris dengan rima, aaaa, abab, abba, atau aabb.
Pada perkembangan berikutnya, puisi ( Indonesia Modern) tidak lagi terikat oleh aturan atau konvensi di atas. Perkembangan baru yang dipengaruhi oleh sastra Barat (Eropa) ini tanda-tandanya suda dimulai sejak masa Angkatan Pujangga Baru misalnya sajak-sajak J.E Tatengkeng dan Amir Hamzah. Pada masa Angkatan 45, bentuk puisi semakin bebas lagi, seperti tampat pada karya-karya Chairil Anwar, dan terus berlanjut hingga sekarang. Puisi dituluis dengan bebas dan beragam, namun tetap indah, karena merupakan seni bahasa.
Untuk membedakannya dengan prosa, cirri-ciri utam puisi masih banyak dipertahankan. Yakni, terdiri dari baris-baris pendek yang membentuk bait-bait. Jadi, sampai sekarang pun banyak penyair yang masih memperhatikan apa yang disebut tipografi atau bentuk luar puisi ( yang terdiri dari baris-baris yang membetuk bait-bait) itu, meskipun sering dengan teknik pembaitan yang berbeda. Misalnya, tidak lagi dengan memberi spasi tiap ganti bait, tapi dengan kata pertama yang diketik menjorok ke pinggir atau masuk ke tengah. Sedangkan masalah persajakan atau rima tidak diikuti secara ketat lagi, tapi secara luwes sesuai kebutuhan.
Agar dalam semangat kebebasan berekspresi itu puisi terasa indah, para penyair umumnya lebih mengandalkan pencitraan, atau penggambaran secara indah, dan tetap mempertahankan irama atau ritme. Di dalam khasanah sastra Barat, puisi pun tetap mempertahankan dua unsur pembentukan keindahan puisi itu. Hal itu sesuai dengan kata-kata penyair Inggris, Edgar Allan Poe, bahwa puisi adalah kata-kata yang disusun secara ilmiah, berirama, dan bermakna.
Coba perhatikan cuplikan bait-bait puisi yang ditulis dalam semangat kebebasan berikut ini :
Ini kali tiada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada melaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk kapal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
(Bait 1-2 sajak “ Senja di Pelabuhan Kecil” karya Chairil Anwar)
Ada burung dua, jantan dan betina
hingga di dahan
Ada daun dua, tidak jantan dan tidak betina
gugur di dahan
Ada angin dan kapuk, dua dua sudah tua
pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angina, dan mungkin juga debu
mengendap dalam nyanyiku
(Sajak “Stanza” karya WS.Rendra)
Kalau aku merantau lalu dating musim kemarau
sumur-sumur kering, dedaunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar.
(Bait 1-2 sajak : “Ibu” karya D Zawawi Imron)
Pada kutipan sajak di atas terlihat bagaimana para penyair tetap berusaha menulis puisi sebagai “seni bahasa” yang indah dan puitis. Antara lain, dengan memperhatikan ritme (irama, muskalitas) dan rima (persajakan), meskipun tidak seketat aturan puisi lama ( pantun dan syair). Irama dibangun dengan pengulangan bunyi yang sama di tengah baris-baris sajak, atau pengaturan jumlah kelompok kata (frase) pada tiap baris sajak. Sedangkan rima dibangun dengan sebisa mungkin menyamakan atau mengulang bunyi yang sama pada akhir baris, meskipun tidak sama persis.
Metode Penulisan Puisi
Dalam membicarakan proses penciptaan puisi, orang sering menyebut metode penulisan puisi, yakni “kiat” yang didasarkan pada prinsip-prinsip estetika puisi (konversi puisi) yang diharapkan dapat menuntun seseorang untuk bias menulis puisi dengan baik dan dengan hasil yang memuaskan.
Metode penulisan puisi, tentu, penting, tapi bukan segalanya. Metode hanya sebatas dapat membantu proses stilisasi dan mempercanggih peralatan puitik ( poetical device) seseorang. Sebab, yang terpenting adalah ghirah (élan vital) untuk menulis puisi itu sendiri. Namun, memang tidak ada jeleknya, seorang penyair memahami metode penulisan puisi agar pena estetiknya menjadi tajam.
Secara sederhana, metode penulisan puisi meliputi penataan tipografi (struktur fisik luar puisi secara keseluruhan), rima atau persajakan (persamaan bunyi pada akhir baris sajak). Ritem atau irama , pencitraan (pengimajian, penggambaran atau pengalihan ide ke dalam simbol-simbol atau citaraan-citraan alam, benda-benda, warna dan suara), dan diksi (pemilihan kata yang tepat, baik makna maupun bunyinya).
1. Menata Tipografi
Penataan struktur fisik luar puisi atau tipografi meliputi pembarisan (pengaturan panjang-pendek baris-baris puisi), pembaitan (pengaturan bait-bait puisi, jumlah baris dalam bait-bait puisi), dan tata letak baris-baris serta bait-bait pusi (rata kiri, rata kanan, senter, membentuk gambar tertentu, atau zig-zag).
Pada puisi Melayu lama, yakni pantun dan syair, pembarisan dan pembaitan diatur dengan sangat ketat, sesuai dengan aturan persajakannya yang juga sangat ketat. Misalnya, tiap baris terdiri dari 4-6 kata, dan tiap bait terdiri dari empat baris, dengan persajakan aaaa, abab, abba, dan aabb. Pada sastra Batak Klasik, jumlah baris jumlah baris tiap bait lebih bervariasi, sajak dua baris per bait, sampai delapan baris per bait, dan masing-masing ada sebutannya. Dan, inilah yang mempengaruhi puisi Indonesia modern sejak masa Pujangga Baru hingga puisi Indonesia kontemporer yang lebih bebas.
Untuk tata letak baris-baris dan bait-bait puisi, pada puisi klasik, modern maupun kontemporer, baik puisi imajis, simbolik, balada, maupun kritik sosial, umumnya diketik rata kiri. Jarang yang rata kanan atau senter. Perubahan tipografi pada puisi-puisi jenis tersebut umumnya tidak mempengaruhi maknanya. Hanya jenis puisi tipografis yang tata letaknya selalu khas dan unik, karena puisi jenis ini maknanya juga bergantung pada tipografinya sehingga kalau tipografinya diubah maknanya akan berubah.
Ada puisi tipografis yang susunan baris-barisnya membentuk gambar benda tertentu, sehingga disebut puisi kongkret. Salah satu contoh adalah puisi “Warm” karya EE Cumming (AS) yang berupa susunan kata-kata aple yang membentuk buah apel, dengan hanya satu warm (ulat) di dalamnya. Ada juga yang disusun zig-zag, seperti puisi “Winka-Shinka” karya Sutardji Calzoum Bachri.Baik puisi “Warm” maupun “Winka-Sihka”, jika diubah tipografinya, akan rusak pula maknanya.
2. Memili Persajakan
Persajakan atau rima (rhyme) adalah persamaan atau pengulangan bunyi pada awal baris atau akhir baris sajak. Persamaan bunyi ini sangat penting agar puisi yang kita tulis jadi terasa indah jika dibaca. Sajak-sajak klasik, konvensional, dan modern, masih sangat memperhatikan rima. Simak misalnya pantun, syair Melayu lama, dan sajak-sajak era Pujangga Baru, seperti karya-karya Mohammad Yamin.
Ada beberapa jenis rima, yakni rima akhir (persamaan bunyi pada akhir baris), rima awal (pengulangan bunyi pada awal baris), dan rima dalam (pengulangan bunyi pada deretan kata-kata dalam satu baris sajak). Untuk keindahan sajak, penyair dapat menggunakan salah satu, dua, atau kombinasi ketiganya.
Pada sajak-sajaknya konvensional, rima (terutama rima akhir) ditata dengan pola-pola persajakan yang ditinggalkan. Dan pada sajak-sajak kontemporer, pola-pola rima konvesional itu lebih banyak ditinggalkan dan persajakan atau persamaan bunyi muncul secara bebas. Kebebasan (pemberontakan estetik) seperti ini muncul secara kuat sejak masa Chairil Anwar.
3. Menata Ritme
Pengertian ritme pada mulanya adalah gerak dalam bahasa tutur alami, atau irama tinggi rendah, panjang pendek, dan jeda-jeda dalam bahasa tutur. Sedangkan dalam konteks puisi, ritme (rhythm) adalah irama merdu yang muncul saat sajak dibacakan, baik berupa tekanan tinggi-rendah, panjang-pendek, pengulangan kata, maupun keteraturan jeda-jeda.
Beda dengan rima (persajakan) yang dibangun dengan pengulangan bunyi, ritme dapat dibangun dengan pengulangan kata pada baris yang berbeda (paralelisme) dan pengaturan jumlah kata dalam frase atau jumlah frase dalam tiap baris sajak. Selain itu, ritme juga dapat dibangun melalui rima, karena salah satu fungsi rima adalah memunculkan ritme dalam sajak.
Pada sajak-sajak kontemporer yang baris-baris dan bait-baitnya sudah relatif tidak beraturan, rima (terutama rima awal dan akhir) sudah tidak begitu diperhatikan lagi. Tetapi, banyak puisi kontemporer yang masih sangat diperhatikan ritme. Ritme menjadi basis keindahan puisi yang terakhir, karena tanpa ritme puisi akan kehilangga keindahan dan musikalitasnya sebagi seni bahasa. Sajak-sajak Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono menjadi contoh pas untuk ini.
Bagi banyak penyair ternama, ritme tetap penting. Selain itu dibangun dalam baris-baris pendek, ritme juga dapat dibangun dengan pengulangan kata atau paralisme di tengah baris-baris sajak yang panjang. Pada sajak “Dalam Doaku”, penyair Sapardi Djoko Damono dengan sangat berhasil melakukannya melalui pengulangan kata “yang”.
Dengan sangat indah Sapardi berhasil menuliskan doa dan kerinduhannya untuk seseorang, dengan penuh rasa cinta, dalam baris-baris sajak yang penuh citraan alam yang sangat lembut dan indah. Coba kita perhatikan metode puisi yang dipakai Sapardi, dan bagaimana dia membungkus isinya dnengan kaca kristal (citraan-citaraan alam) yang mempesona, pada kutipan bait tiga, empat, dan enam, sajak tersebut sebagai berikut ini:
dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
menghibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis yang hingap
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dalam mangga itu.
maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin untuk turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu, menyusup dicelah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyenuhkan pipi dan bibirnya pada rambut,
dahi dan bulu-bulu mataku...
aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
Tapi banyak juga puisi kontemporer tidak begitu memperhatikan ritme, dan menganti keindahannya dengan permainan imaji ( Nirwan Dewanto dan Afrizal Malna) atau mosaik benda-benda (Afrizal Malna) Coba kita simak sajak-sajak mereka berikut ini:
Maaf berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 sm. Permisi berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat,
seperti bagunan pemerintah. Berat badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan daging di
wastefel. Tunggu. Kenapa tangamu keras? Seperti
kekuasaan….
(Sajak “Pengajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan” karya Afriza Malan)
Seorang bocah menebar bunga-bunga ke ranjangku
Dan mencuri seekor kupu-kupu dari nyanyianku
Menjelang diri hari mungkin aku mati
Tubuhku menjelma laut, laguku jadi matahari
(Sajak “Improvisasi” karya Nirwan Dewanto)
Ada juga penyair yang menggantikan ritme dan persajakan dengan permainana logika yang humoristic, namun secara visual tetap tampak sebagai puisi, karena terdiri dari baris-baris pendek dan terbagi dalam bait-bait. Misalnya, sajak “Sikat Gigi” karya Yudhistira ANM Massardi sebagai berikut
Seseorang lupa mengosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidur ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka
Ketika ia bagun pagi hari
Silat gigi tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bias kembali
4. Pencitraan
Dalam banyak buku teori penulisan puisi, pencitraan atau pengimajian sering diuraikan secara sangat rumit. Namun, pencitraan dalam dijelaskan secara sederhana sebagai penggambaran atau pengalihan ide ( yang bersifat abstrak) ke dalam citra-citraan yang konkret, baik citraan alam, benda-benda, warna, maupun suara. Karena itu, pencitraan sering juga disebut sebagai konkretisasi. Ada tiga macam pencitraan, yakni citraan visual, citraan auditif, dan citraan tastial.
Pencitraan dalam bahasa Sapardi, berfungsi sebagai “kaca kristal” untuk membungkus makna agar tersampai secara indah dan mengesankan. Jika makan atau isi puisi dapat diibaratkan sebagai biji kacang, maka biji kacang itu berada di dalam kaca kristal. Orang yang melihat tahu bahwa itu biji kacang, tapi tampak lebih indah, misalnya tampak jadi banyak, berbias, atau jadi berkilauan.
Ada beberapa fungsi pencitaraan. Pertama, menggambarkan gerak dan laku serta karakter (citraan visual), terutama pada sajak-sajak yang berkisah seperti ode dan balada. Sebagai contoh adalah sajak-sajak baladanya Rendra. Kedua, menggambarkan suasana tertentu, seperti suasana sepi, sendiri, riuh, gelisah, dsb. Pada sajak “Malam Leberan” misalnya, Sitor Situmorang berhasil menggambarkan suasana sepi dengan imaji bulan di atas kuburan. Pada sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”. Chairil Anwar berhasil menggambarkan suasana sepi dan sendiri dengan hanya menyebut benda-benda yang ada di sana.
Ketiga, memperjelas sesuatu agar sampai kepada pembaca atau agar pembaca ikut merasakannya (citraan auditif dan tastial). Dan Keempat, menggambarkan atau menyimbolkan ide yang abstrak menjadi konkret, seperti daun jatuh untuk menggambarkan kefanaan, api dan panas untuk menggambarkan kesatuan zat dan sifat (citraan visual dan tastial). Abdul Hadi WM memanfaatkan metode ini dengan sangat berhasil pada sajak “ Tuhan Kita Begitu Dekat” sebagai berikut
Tuhan kita begitu dekat
Bagai api dan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan kita begitu dekat
Bagai kain dan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan kita begitu dekat
Bagai angin dan arah
Aku arah pada angimu
5. Kreativitas Diksi
Pemilihan kata yang tepat, baik makna maupun bunyinya, atau diksi, mutlak harus dilakukan oleh seseorang dalam menulis puisi. Fungsi diksi secara estetik adalah untuk membangun makna yang paling tepat, sesuai dengan tema dan jenis puisi, keenakan bunyinya, ketepatan citranya, dan ketapatan simboliknya.
Untuk puisi-puisi kritik sosial, penyair bisa memilih kata-kata dalam makna leksikal atau denotative seperti yang dilakukan Rendra dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Tetapi, untuk sajak-sajak imajis dan simbolik, disarankan dipilih kata-kata yang asosiatif dan simbolik, seperti banyak dilakukan Abdul Hadi WM. Dengan diksi yang demikian, makna puisi akan menjadi berlapis. Orang akan mengangkap makna dan gambaran harfiahnya dulu, baru kemudian makna puisi akan simbolik atau yang terkandung di dalamnya.
Tetapi, dalam prakteknya, bisa bercampur aduk antara pilihan kata dalam makna leksikal dan dalam makna simbolik. Kadang-kadang yang simbolik hanya kata kuncinya saja, dan ini sudah mengesankan seluruh sajak, menjadi simbolik, misalnya pada sajak “Sembanyang Rumputan”, yang diksinya juga untuk ketetapan makna, ritme dan persajakan.
SEMBAHNYANG RUMPUTAN
Walau kau bungkam suara azan
Walau kau gusur rumah-rumah tuhan
Aku rumputan
Takkan berhenti sembanyang
Inna Shallati wa nusuki
wa mahyaya wa mamati
lillahi rabbil ‘alamin
Topan menyapu luas padang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembayang
akarku yang mengurat shalawat nabi
allahuma shalli ‘ala Muhammad
ya rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Sembahyangku sembahnyang rerumputan
sembahyang penyerahan jiwa dan badan
yang rindu berbaring di pangkuan tuhan
sembahyangku sembahyang rumputan
sembahayangku penyerahan habis-habisan
Walau kau tebang aku
Akan tumbuh sebagai rumput baru
Walau kau baker daun-daunku
Akan bersemi melebihi dulu
Aku rumputan
Kekasih tuhan
Di kota-kota disingkirkan
Alam memeliharaku
Subur di hutan-hutan
Aku rumputan
Tak pernah lupa sembahyang
sesungguhnya sholatku dan ibadaku
hidupku dan matiku hanyalah bagi Allah, tuhan sekalian alam
Pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kupersembahkan
agar tak kehilangan asal keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku mengema
menggetarkan jagat raya
: la illaha illah
muhammadar rasullah
Aku rumputan
Kekasih tuhan
Seluruh gerakku
Adalah sembayang
Yogyakarta, 1992
Langkah-Langkah Perlatihan
Esensi puisi adalah seni bahasa atau bahasa yang indah. Puisi yang bagus terdiri dari kata, rangkaian kata, baris-baris, atau kalimat-kalimat yang indah (puitis) dan bermakna. Indah atau puitis dalam konteks ini adalah kalimat-kalimat atau baris-baris sajak yang memperhatikan persajakan (rima), irama (ritme), dan citraan yang utuh dan bermakna.
Dalam kaitan itu, proses latihan atau pembelajaran puisi akan sangat-sangat efektif jika dimulai dengan berlatih menyusun baris-baris kalimat-kalimat yang indah, sejak dari kalimat yang lugas dan sederhana, sampai yang simbolik dan majas. Misalnya, menggambarkan perasaan cinta dengan indah, menggambarkan keindahan setangkai bunga secara indah atau menggambarkan gerak daun jatuh secara indah.
Dalam menyusun citraan-citraan alam seperti gerak dan jatuh, atau bunga yang mekar, bisa saja seorang penulis puisi (penyair) cukup mengandalkan kemampuan imajinasinya, yakni cukup dilakukan di belakang meja. Tetapi, sebagai proses pembelajaran, akan sangat efektif jika penulis puisi atau ‘siswa’ yang sedang belajar menulis puisi berada di tengah-tengah alam dan melihat langsung benda-benda yang menjadi sumber citraan-citraan dalam puisinya. Dengan berada di tengah alam, ataupun di tengah lingkungan yang menyediakan aneka benda dari peradaban urban sekalipun, kita atau ‘siswa’ dapat berlatih puisi dengan metode ‘menggambarkan dengan kata-kata’ sambil memperhatikan metode standar (tipografi, rima, ritme, pencitraan, dan diksi) tersebut di atas. Jika tidak, berada di tengah alam, atau hanya di depan komputer, maka latihannya adalah menggambarkan ide-ide yang abstrak dengan teknik pencitraan-melalui metaphor yang lebih tinggi, karena benda-benda yang akan dipinjam untuk membantu pencitraan tidak berada di depan mata tapi dihadirkan dalam bayangan (imajinasi) penulis puisi.
Perlatihan berikut ini, barangkali , cukup efektif untuk memperkaya citaran dan mempertajam peralatan puitik seseorang yang sedang ‘belajar’ menulis puisi. Perlatihan ini penting untuk meningkatkan kemampuan penulis puisi dalam membangun citraan yang indah dan utuh. Sebab, keberhasilan sebuah puisi sangat ditentukan oleh kemampuan penyair dalam membangun citraan itu. Di sinilah proses menulis puisi sebagai kongkrtisasi gagasan yang abstrak akan dipraktekkan.
Proses pembelajaran dapat diuraikan sebagai berikut :
Perlatihan menuliskan perasaan cinta (pada orang tua, adik, atau sahabat) dengan baris-baris yang indah bersajak dan berirama.
Perlatihan menuliskan perasaan rindu (pada orang tua yang jauh, saudara atau sahabat) dengan baris-baris yang puitis, dengan citraan-citaran alam yang sederhana.
Perlatihan menggambarkan gerak daun jatuh secara lugas, dan memaknainya sebgai simbol kefanaan.
Perlatihan melukiskan keindahan sekuntum bunga, sambil melihat bunga secara langsung, secara lugas, kemudian memaknainya sebagai simbol kecantikan yang fana.
Perlatihan melukiskan keindahan alam sekeliling secara indah, semula secara harfiah, kemudian memaknainya sebagai simbol keagungan tuhan.
Perlatihan menggambarkan benda-benda disekeliling secara lugas namun indah, kemudian memaknainya sebagai simbol keagungan tuhan.
Perlatihan menggambarkan benda-benda sekeliling secara lugas namun indah, kemudian menempatkannya sebagai citraan untuk menggambarkan (kongkritisasi) ide tertentu.
Perlatihan menuliskan perenungan tentang makna persahabatan, makna kasih sayang, atau makna hidup, dimulai dari baris-baris yang lugas tapi indah, kemudian dengan simbol-simbol atau citaraan-citaraan yang kompleks.
Perlatihan Penulisan Sastra Kreatif Cerita Pendek.
Perlatihan menulis sastra kreatif cerita pendek adalah kemampuan menulis cerita pendek sesuai dengan unsur-unsurnya secara baik. Langkah-langkah menulis sastra kreatif cerita pendek antara lain: (1) mencari ide, gagasan atau inspirasi; (2) membuat kerangka karangan; (3) menuliskannya dengan mesin ketik atau computer; (4) mengoreksi naskah; (5) mengirimkan ke media massa.
Kreativitas Menemukan Ide dan Membuatnya
Kadang sering muncul pertanyaan dari penulis pemula, saya tak punya ide, saya kehabisan ide menulis cerita. Sebenarnya ide cerita itu banyak sekali kalau kita mau kritis dan peka pada kehidupan sekitanya. Ide bias diperoleh dari baca buku, majalah, koran atau apa saja, ngobrol sama teman, atau melihat alam sekitar. Misalnya, kehidupan sehari-hari, keluarga, tetangga, masyarakat/kampong, pasar, sekolah, kampus, atau apa yang kita lihat. Atau coba kita pergi naik sepeda atau motor ke mana kita suka barangkali menemukan ide, atau kita pergi memancing di sungai, barangkali kita menemukan ide lalu kita tulis. Semua kejadian di sekitar kita itu kalau kita peka adalah ide-ide yang bagus. Namun tidak semua ide bias kita tulis karena begitu banyaknya. Untuk mengabdikan ide-ide tersebut cobalah kita senantiasa membawa buku catatan kecil ke mana saja kita pergi, ketika muncul ide sebaiknya kita catat, siapa tahu suatu saat nanti ide-ide kita jadikan cerita atau jenis karangan lainnya. Ide-ide yang berseliweran itu harus kita catat agar kita tak lupa. Ide-ide itu kemudian hari satu persatu bias kita jadikan cerita yang menarik.
Kreativitas Membuat Kerangka Karangan
Kerangka karangan adalah berisi garis besr cerita atau poin-poin penting cerita pada bagian awal, tengah dan akhir. Seperti setting, tokoh, alur cerita, masalahatau konflik, solusi atau pemecahan (ending cerita). Dengan kerangka tersebut akan sangat membantu bagi penulis menyusun cerita secara lebih detail dan mau dibawa ke mana cerpennya.
Kreativitas Menulis Cerita
Menulis cerita dengan mesin ketik atau Komputer. Kiat awal adalah selesaikan dulu cerita anda apa pun bentuknya, bagaimanapun jeleknya, jangan berhenti di jalan. Sebab, banyak yang menulis cerita tapi tak rampung, lalu ditinggal, lagi dan lagi. Hal ini sering penulis dengar dari para penulis pemula. Sering banyak cerita ditulistapi tak pernah selesai, tapi hanya sepenggal lalu ditinggalkan. Menulis cerita atau karya apapun hendaknya ditulis sampai selesai. Yang penting selesaikan dulu, soal kualitas abaikan dulu. Soal baik atau jelek itu urusan belakangan, yang penting cerita harus selesai dulu. Dengan selesainya cerita kita bias membaca dan menemukan kelebihan dan kekurangannya lalu memperbaikinya.
Kreativitas Mengoreksi
Setelah sebuah cerita selesai ditulis dari awal hingga akhir cobalah endapkan dulu beberapa saat atau sehari dua hari, lalu cobalah baca dan koreksi, nanti akan kelihatan dengan sendirinya apa yang kurang sehingga bias diperbaiki. Setelah itu, perbaikilah cerita Anda dengan mata seorang redaktur yang kritis seolah bukan milik Anda.
Sebab cerita yang baik pun tak bisa ditulis sekali jadi, tapi kadang harus dikoreksi atau ditulis berkali-kali hingga sempurna. Namun demikian, kadang penulis tidak pernah puas dengan hasil akhirnya. Tetapi, yang penting sang penulis sudah berusaha semaksimal mungkin menulisnya, lalu biarkan orang lain yang mengkritik. Untuk mengukur kualitas cerita cobalah berikan kepada orang lain untuk mengomentari, bagaimana kritik dan sarannya, apa kelebihan dan kelemahannya, lalu coba perbaiki lagi.
Kreativitas Mengirim Tulisan ke Media Massa
Mengapa harus dikirim ke media massa? Sebab sebagus apa pun cerita anda kalau hanya tersimpan di laci, ia menjadi tidak bermanfaat secara luas. Dengan mengirim naskah cerpen ke media massa, kita bias menguji kualitas cerpen kita, lebih dari itu, barangkali cerpen kita bias memberi manfaat bagi orang lain, setidaknya menghibur, memberi inspirasi, pelajaran baik kepada orang lain. Atau bisa juga cerpen kita bias menghasilkan honorarium alias rezeki dari hasil jerih payah kita bekerja menyelesaikan naskah tersebut.
Jadi setelah naskah cerpen dikoreksi secara sempurna, cobalah kirim karya cerpen kita ke media massa sehingga cerpen tersebut betul-betul teruji oleh redaksi, termasuk mendapat penilaian dari para pembaca. Siapa tahu, karya kita bermanfaat dan memberi inspirasi bagi orang lain. Banyak manfaat yang kita dapat dari menulis di media massa, orang Jawa bilang kita memperoleh jenang (uang) dan jeneng (popularitas), tambah pengetahuan, tambah teman, dan lainnya.
Catatan Tambahan
Kreativitas Mengolah Imajinasi
Menulis puisi pada dasarnya adalah mengolah imajinasi dan menuliskannya menjadi kalimat-kalimat puitis di atas kertas pada layar komputer. Karena itulah, pengimajian atau pencitraan (imagery) menjadi metode terpenting dari proses penulisan puisi, kemampuan imajinasi memegang peran penting.
Imajinasi adalah bayangan atau gambaran, dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu, Misalnya, tentang rona wajah yang tersenyum gembira, tatapan yang penuh cinta, suasana keluarga bahagia, yang semrawut, atau daerah porak-poranda karena gempa, sampai bayangan yang sesungguhnya tidak ada dalam kenyataan, seperti hantu yang mengerikan, atau vampir yang ganas.
Dalam menulis puisi-juga fiksi-imajinasi itu diolah menjadi kata-kata yang puitis (indah) dan bermakna untuk mencitrakan, menggambarkan, atau menyimbolkan, ide atau pemikiran tertentu. Misalnya, tema itu indah. Nah, ide tentang ‘indah’ kan bersifat abstrak (tidak kongkret). Maka, dalam imajinasi kita akan membayangkan atau menggambarkan taman yang indah itu, misalnya, ditumbuhi warna-warni bunga yang diatur rapi di kanan kiri jalan setapak menuju kolam ikan di ujung taman. Nah, saat menulis puisi, sang penulis menuangkan imajinasi tentang taman yang indah itu ke dalam kalmiat-kalimat yang indah atu puitis. Ide tentang taman yang indah, yang semula abstrak itu, diubah menjadi kongkret.
Begitu juga, sederhananya, yang dimaksud dengan pengimajian, atau pencitraan, yang menjadi metode (cara) terpenting dalam menulis puisi, yakni mengubah ide, pemikiran, atau perasaan, yang bersifat abstrak, menjadi gambaran (citraan) yang bersifat konkret. Misalnya, perasaan cinta atau rindu digambarkan dengan sesuatu yang tidak dapat terpisahkan (rinduku padamu seperti kupu-kupu yang merindu mad--kalau tidak menemukan madu, kupu-kupu akan mati), atau kefanaan (ketidakabadian) yang digambarkan dengan kehadiran sesuatu yang menyeramkan (sosok maut menyeringai hendak menerkamku). Karena itu, menulis puisi sering pula disebut sebagai proses konkritisasi ide-ide yang abstrak.
Tiap orang memiliki kemampuan untuk berimajinasi, namun saat berimajinasi atau mengimajinasikan sesuatu, yang muncul tidak selalu gambaran (citraan) atau bayangan yang sama. Imajinasi tentang taman yang indah, misalnya tiap orang tidak sama. Begitu juga imajinasi tentang kebahagian, kerinduhan, kefanaan, atau ketakutan. Wujud dan kekayaan imajinasi seseorang akan sangat tergantung pada pengalaman hidupnya, baik pengalaman inderawi maupun pikiran dan perasaannya. Pengalaman inderawi berasal dari apa dilihat dan dialaminya. Pengalaman inderawi, ditambah bacaan dan ilmu pengetahuan akan memperkaya wawasan piker dan rasa seseorang.
Karena itu, dalam penulisan puisi, ide atau tema yang sama dapat melahirkan berbagai macam puisi dengan citraan yang berbeda-beda dengan wawasan piker dan rasa (tingkat kearifan) yang berbeda-beda pula. Jadi, tidak perlu takut, menulis puisi yang temanya sama dengan orang lain, karena asal tidak menjiplak, hasilnya pasti akan berbeda.
Tugas terpenting dalam hal menulis puisi, yang mengandalkan kemampuan berimajinasi itu, adalah bagaimana mengolah imajinasi tersebut agar dapat dituangkan menjadi baris-baris atau kalimat-kalimat yang indah dan akhirnya menghasilkan puisi yang bagus dan bermakna. Untuk itu kita perlu tahu metode puisi, atau kiat untuk menulis puisi yang bagus dan bermanfaat.
Kreativitas Menemukan Ide Puisi
Kegiatan menulis puisi dimulai dari adanya ide. Ide adalah gagasan dasar yang menjadi tema suatu karya sastra. Tema adalah ‘perangkai’ imajinasi atau citraan dari bait pertama sampai bait terakhir. Misalnya, tema tentang ‘perasaan kehilangan’ karena semua anggota keluarganya tewas akibat Tsunami, maka citraan yang dirangkai dalam baris-baris puitis adalah citraan yang menggambarkan rasa kehilanggan itu. Atau, tema tentang ‘kefanaan’ bahwa semua yang ada di dunia ini tidak abadi, maka citraan yang dirangkai dalam baris-baris puitis adalah citraan yang menggambarkan tentang kefanaan itu.
Tetapi, puisi bisa juga lahir tanpa didahului gagasan dasar atau tema yang sengaja dirumuskan dari awal. Puisi sering lahir dengan sendirinya melalui semacam ‘bisikan gaib’-- berupa rangkaian citraan yang membentuk baris-baris puitis-yang tiba-tiba dirasakan oleh sang penyair yang sedang berada dalam situasi tertentu, biasanya situasi yang sangat menyentuh perasaan dan pikirannya. Inilah, barangkali, yang disebut ilham atau inspirasi.
Pernah ada mitos di kalangan sastrawan, terutama penyair, bahwa kegiatan menulis dimulai dari datangnya ilham dan inspirasi. Ilham konon, datangnya selalu tidak terduga, tanpa diundang, atau jatuh dari langit. Karena itu, seorang penyair-yang mempercayai mitos itu-- tidak dapat melahirkan karya jika tidak didatangi ‘bung ilham’.
Untuk menghindarkan ilham, yang tidak lain adalah gagasan dasar yang merangkai kata-kata puisi itu, seorang sering merenung berjam-jam, mondari-mandir di kamar sambil merokok, duduk terpaku di tepi kali, nongkrong di warung kopi, atau melakukan apa saja demi datangnya ‘bung ilham’ itu.
Meskipun masih bisa juga dilakukan, menunggu ilham dengan cara begitu akan membuat proses kepenyairan sesesorang akan berjalan lamban. Seorang penyair tidak akan produktif jika hanya bersikap pasif, hanya menunggu datangnya ilham, dan tidak menulis jika ada ilham, Seorang penyair-jika ingin produktif harus aktif memburu dan menangkap ‘bung ilham’ dimanapun ia bersembunyi. Caranya adalah ‘berdialog’ secara empatik dengan lingkungannya, menangkap ilham yang tersembunyi di balik pengalaman inderawinya.
Akif berburu dan menangkap ilham itulah yang dilakukan para penyair yang produktif, seperti Emha Ainun Najib, D Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi WM. Abdul Hadi pernah memberi saran kepada para pemula, “menulis dan mulai menulislah, meski tidak ada ilham ‘ilham’ di kepalamu. Ilham akan hadir atau mengalir saat engkau mencoretkan pena di atas kertasmu.”
Sumber ilham, yang pertama-tama, ada dalam diri pengarang sendiri. Ia akan hadir dan mengalir manakala pena sang pengarang tajam menyentuhnya. Ia akan memancar manakala sang pengarang mau bekerja keras menggalinya. Caranya banyak, dengan merenung-renungkan pengalaman hidup, rohani dan intelektual yang dimiikinya, dan mencoba-coba untuk menuliskannya dalam bentuk puisi.
Jika kita ingat tradisi puisi mbeling, sajak-sajak di sana umunya ditulis tanpa didahuli gagasan besar atau konsep nilai-estetik maupun tematik terlebih dahulu. Para penyair mbeling , seperti Remy Silado dan Adhi Massardi- yang terkenal dengan Sajak Sikat Gigi-nya, bisa menulis puisi secara spontan begitu saja, tanpa ada gagasan besar dan tanpa tendensi besar. Mereka percaya, sajak-sajak yang mereka tulis akan menemukan konsep estetik dan maknanya sendiri setelah puisi itu selesai ditulis. Namun, keberhasilan proses seperti itu sangat bergantung pada kepekaan puitik dan bakat alam sang penyair.
Pengalaman hidup pengarang, penghayatan religiusitasnya, kekayaan intelektualnya, pengalaman beribadahnya, penderitaannya, kerinduhannya pada sang kekasih, kesepiannya, kejengkelannya pada dunia di sekitarnya, kepekaan sosial politiknya, dan apa saja yang bergejolak di dalam diri sang pengarang serta reaksi batinnya terhadap berbagai fenomena di lingkungan sekitarnya, adalah lahan-lahan subur bagi lahirnya ilham. Di lahan-lahan itulah ilham, inspirasi, atau ide dasar karya sastra, biasa menggeliat atau melintas, tinggal bagaimana kecekatan sang penyair untuk menangkap dan mengolahnya menjadi puisi.
Di luar diri sang penyair, sumber ilham bertebaran di mana-mana, di tengah kota yang porak-poranda dihantam tsunami, di pantai yang ramai atau sunyi, di kampus, di balai kota, di hotel, di pasar, di masjid, warung kopo, di gang-gang kumuh, di trotoar-trotoar pertokoan, di persawahan, di taman bung, di pinggir kali, di panas terik pantai, di dalam kabut dingin pengunungan, di dalam gerbong kereta api, di dek kapal penumpang, di dalam kepadatan bus kota, dan di tengah kemacetan lalu lintas sekalipun.
Dari tebaran sumber ilham itu, yang diperlukan adalah kepekaan sang penyair untuk menangkap isyarat-isyarat puitik yang dilihatnya dan kemampuan imajinasinya untuk menyusun ungkapan-ungkapan puitis itu menjadi puisi. Di kalanagan penyair, isyarat itu biasa disebut sentuhan puitik (poetical touch).
Melihat sekuntum mawar mekar sendiri di tengah padang rumput, bagi penyair mungkin akan membangkitkan rasa sendirinya. Sang mawar hadir sebagai citraan kesunyiaan, simbol kesendirian, dan ia bias saja misalnya mengingatkannya pada eksistensi manusia yang terasing di tengah hirup pikuk kehidupan. Tetapi, ia bias juga hadir sebagai simbol cinta yang membara, dan dengan itu penyair ingin mengungkapkan kata-kata cintanya pada sang kekasih. Dari dua kemungkinan simbolik itu lalu tersusunlah kata-kata puitis, dengan kesendirian sang mawar sebagai pusat pencitraannya.
Melihat rumputan rubuh bersama ditiup angina secara periodik, seorang penyair dapat saja menangkap gerak puitis itu sebagai gerak rukuk atau sujud dalam sholat berjamaah. Maka, ia menangkap fenomena alam itu sebagai simbol religiusitas, simbol kepada Al Khalik. Dari sentuhan fenomena alam itulah saya, pada tahun 1995, menulis sajak “Sembanyang Rumputan” yang cukup terkenal itu ( Herfanda,2008:9)
Dari pemandangan apapun, bahkan dari benda macam apapun, sejak dari fenomena alam sampai fenomena sosial-politik, dapat mengalir kata-kata puitis atau kisah-kisah yang menarik dan bermakna bagi pembaca. Semua itu, tentu juga kehidupan itu sendiri, adalah sumber ilham yang tiada habis-habisnya untuk digali. Dari sanalah, berbagai kemungkinan puitik (poetical alternation), dapat hadir dan ditulis menjadi puisi.
Tentu, agar susunan kata (puisi) itu menjadi lebih bermakna, perlu diberi sentuhan filsafat, moral, agama, atau ajaran-ajaran kearifan hidup lainnya. Agar sentuhannya itu dapat hadir sebagai pencerahan sekaligus pemerkaya batin pembaca, sang penyair pun harus banyak membaca. Ia harus menjadi cendikiawan yang terus menetaskan kearifan dan makna hidup bagi pembacanya.
Penutup
Dengan hanya mengenal metode sederhana itu, sambil tetap memelihara rasa cinta sebgai ghairah penciptaan, seseorang tentu sudah dapat terus berproses untuk makin pandai menulis puisi atau cerita pendek bahkan menjadi penyair kalau suka, dengan terus menulis dan menulis, dan tentu juga membaca dan membaca.
Dengan banyak menulis dan membaca pusi dan cerita pendek, kajian puisi dan cerita pendek, filsafat , dan agama peralatan puitik dan cerita pendek seseorang akan terus terlatih, makin peka terhadap sentuhan puitik, berwawasan dalam dan luas, dan karena itu akan lebih produktif serta makin mampu mencapai prestasi estetik seperti yang diharapkan.
Daftar Pustaka
Herfanda, A.Y, 2008. “Menulis Puisi Mengeloh Imajinasi”, dalam Seminar Internasional Pesta Penyair Nusantara 2. Kediri
Komaidi, D. 2008. Aku Bisa Menulis. Sabda, Yogyakarta.
Purba, A. 2007. Teori Sastra Indonesia. FBS Unimed. Medan
Purba, A.2008. Sastra Bangsa Indonesia. USU Press, Medan
Purba, A.2009. “Tantangan Pembelajaran Sastra Indoensia: Kompetensi Profesional Guru Sastra Indonesia” , Makalah Seminar Nasional HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU, 2 April 2009. Medan
Sumardjo, J. 1984. Memahami Kesusastraan Alumni. Bandung
Sumardjo, J dan Saini KM. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Gramedia. Jakarta.
Rabu, 12 Agustus 2009
FITRAH SASTRA ISLAM INDONESIA
FITRAH SASTRA ISLAM INDONESIA
Oleh : Antilan Purba
Tiga pertanyaan penting yang termasuk dalam judul makalah. Pertama, apakah sastra Islam Indonesia. Kedua, bagaimanakah sastra Islam Indonesia. Ketiga, mengapa dengan Sastra Islam Indonesia. Dengan pembahasan ini pengetahuan, pemahaman tentang keapaan, kebagaimanaan dan kemengapaan Sastra Islam Indonesia semakin luas.
1. Apakah Sastra Islam Indonesia ?
Sebelum dibahas pengertian Sastra Islam Indonesia, pengertian sastra keagamaan perlu diuraikan. Istilah sastra keagamaan disinonimkan dengan satra religius. Sastra keagamaan adalah sastar yang menampilkan persoalan keagamaan. Dalam artikel Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini, Goenawan Muhammad berpengertian bahwa sastra keagamaan, genreyang bermaksud dengan sadar memberikan jawaban situasi berbasiskan nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan.
Sutan Takdir Alisjahbana berpengertian bahwa sastra keagamaan adalah sastra yang menjelmakan perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan diartikan sebagai dua hal, yaitu sebagai perasaan yang bertaut dengan agama; dan perasaan “bertuhan” dalam kalbu setiap manusia yang mengacu pada agama tertentu.
Dalam Reigiositas Alam dari Suredisme ke Spritualisme D. Jawawi Imran, Abdul wachid, B. S, berpengertian bahwa kesusastraan religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religus selalu membicarakan persoalan kemanusian yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.
Dalam artikel Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius, Ahmadun Yosi Herfanda berpengertian bahwa sastra religius adalah karya sastra yang memancarkan semangat untuk setia pada hati nurani serta sifat-sifat dan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Karena sastra lahir dari nurani kreatif yang berfitrah religius, maka semangat religius sesungguhnya merupakan semangat yang paling fitrah (hakiki). (Republika, Ahad, 1 Agustus 2004, 8, Budaya).
Sastra keagamaan itu bisa berbentuk tiga macam. Pertama, membentuk sastra keagamaan yang dianalogikan pada kitab suci tertentu. Kedua, sastra keagamaan yang dilahirkan dari kesadaran atau naluri bertuhan yang mengacu pada satu ajaran agama hingga lebih bersifat nilai yang universal. Ketiga, sastra keagamaan yang ditulis dengan semangat religi untuk berdakwah bagi agama tertentu.
Istilah sastra Islam diistilahkan juga sastra Islami (Emha Ainun Najib), sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufitstik (Abdul Hadi, W. M), sastra zikir (Taufik Ismail), sastra transendental (Sutarji Calzom Bahri), sastra terlibat dunia dalam (M. Fudoli Zain).
Istilah sastra Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Hamka pada 1930-an. Beliau adalam pelopor sastra Islam Indonesia. Novel Islamnya berjudul Tengelamnya kapal Van Der Wicjk (1938) dan Di Bawah Lindungan Kakbah (1938). Dalam kedua novelnya telah disimbolkan perjalanan spritual dan ibadah yang wajib dilakukan seorang muslin yang baik.
Hamka, dkk berpengetian sastra Islam adalah sastra untuk kebaktian kehadirat Allah. Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam, 15 Desember 1963 di Jakarta dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan, 17 Agustus 1963 para seniman, kebudayaan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaluddin Malik merumuskan bahwa kesenian (kesusastraan) Islam adalah manifestasi dari rasa, karsa dan cipta dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. Sastra Islam adalah sastra karena Allah untuk manusia yang dihasilkan para seniman muslim yang bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah Insani (dalam Helvi Tiana Rosa, 2003 : 5).
A.A Navis berpengertian bahwa sastra Islam adalah sastra yang melukiskan kebenaran, kesempurnaan dan keindahan yang mengandung kaidah syariat Islam yang dituliskan oleh sastrawan muslim dan memahami teologi Islam serta hasilnya akan menjadi ingat kepada Allah dan berfaedah untuk manusia.
Dalam artikel Sastra Islam dan Dakwah Islamiah A. Husin Syarnubi berpengertian sastar Islam adalah sastra yang berjiwa Islam sesuai dengan konsep Islam yang mengandung amanat yang disampaikan kepada manusia, yaitu berbuat baik, mencegah berbuat munkar (Telita, Rabu, 19 Oktober 1988 : VI).
Emha Ainun Nadjip pada 1995, berpengertian bahwa sastar Islam adalah suatu kerja kesusastraan dalam suatu kerangka kesadaran nilai keislaman baik formal maupun informal, eksplisit maupun inplisit (Purba, 2006, 5).
Berbasis pengertian di atas jelas bahwa sastra Islam adalah sastra karena dan untuk Allah yang ditulis sastrawan Islam berdasarkan ajaran Islam demi mengingatkan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sastar Islam Indonesia adalah sastra Islam yang berbahasa Indonesia yang melukiskan kebenaran, kesempurnaan, dan keindahan yang mengandung kaidah menurut syariat Islam yang ditulis sastrawanmuslim Indonesia dan memahami teologi Islam serta hasilnya akan membuat manusia ingat kepada Allah dan berfaedah untuk manusia (Purba, 1999 :4).
Umumnya disepakati bahwa karya sastar Hamka, Amir Hamzah, Ali Hasjmy, Rirai Ali, Taufik Ismail, Goenawan Muhammad, Emha Ainun Nadjib merupakan karya sastar religius Islam. Lalu muncul generasi muda seperti Ahmadun Yose Herfanda, Matori Al Elwa, Abdul Warhid, B.S Abidah Ek Khailagy, Ulfatia Jamal.D Rahman. Kemudian disusul oleh kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), Hely Tiana Rosa, dkk.
2. Bagaimanakah Sastra Islam di Indonesia ?
Kebagaimanan sastra Islam Indonesia berkait dengan konsep yang mendasarinya dan ciri-cirinya. Tiga konsep dasar sastra Islam Indonesia, yaitu tauhid, tegas dalam prinsip dan iman dan amal saleh. Pertama konsep dasar sastra Islam adalah tauhid. Sebab, dasar ajaran Islam adalah tauhid, atau menegaskan Allah. Jiwa Tauhid mendorong sastrawan muslim menyampaikan sastranya. Ajaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah adalah ajaran dasar Islam. Tuhan menurut konsep dasar Islam adalah Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidan ada yang serupa denganNya. Dia yang menciptakan dan memelihara alam, sedang manusia yang diciptakan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan ijinNya.
Kedua, konsep dasar sastra Islam adalah tegas dalam Prinsip. Oleh karena itu, dituntut konsep dasar ini muncul ke permukaan. Hikmah bijaksana adalah metode dalam Islam. Melalui cara ini, lahir karya sastra yang menarik pembaca sehingga manusia semakin tertarik dengan Islam. Berusaha mempelajari Islam dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, konsep dasr sastra Islam adalah iman dan anak saleh. Hal ini dilandasi oleh QS Asy Syu’ara:224:227, yaitu : ”Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” . ”Tidaklah engkau melihat sesungguhnya mereka mengembara pada tiap-tiap lembah. Dan sesungguhnya mereka mengatakan apa tidak mereka kerjakan. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak mengingat Allah dan mereka mendapat pertolongan sesudah mnereka dianiaya. Dan orang-orang zalim itu akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
3. Ciri-Ciri Sastra Islam
Berbagai sastra Islam yang dikemukaakan di bawah ini . pada tahun 1987, Atmo Suwito mengemukakan ciri-ciri sastra Islam, yaitu:
1. Penyerahan diri, tunduk dan taan kepada Sang Pencipta
2. Kehidupan yang penuh denagn kemuliaan
3. Perasaan batin yang penuh dengan kemuliaan
4. Perasaan berdosa
5. Perasaan takut
6. Mengakui kebesaran Tuhan (dalam Ahmad, S.Reimi, 2001 :8)
Helvi Tiana Rosa mencirikan satra Islam sebagai berikut :
1. Sastra Islam tidak akan melaalikan pembacanya dari dzikrullah. Ketika kita membaac, kita akan diingatkan kepada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. Ada unsur amar makruf nahyi munkar denagn tanpa mengurangi ibrah dan hikmah. Ia kepar bercerita tentang cinta, baik pada Allah dan sesama makhluk, sesama manusia, hewan, tumbuhan, alam raya.
2. sastar Islami lahir dari tangan seorang Muslim yang memiliki ruliyah Islam yang kuat dan wawasan Islam yang luas. Penilaian apakah karya tersebut daapt disebut sastar Islam atau tidak, bukan hanya dilihat pada karya semaat, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyaarkat. Sastar Islam bagi pengarang adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan paad umat dan Allah. Sastra dalam kehidupan seorang muslim dan muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Sang penagrang, kehidupan Islam dan karyanya menjelma satu kesatuan.
3. karya sastar Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnay kemaksiatan secara vulgar denagn mengatasnamakan seni atau aliran sastar apapun. Ia juga tak membawa kita pada tasyahbid bil kuffur, apalagi jenjang kemusyrikan.
4. sastra Islam harus berpihak pada kebenaran dan keadialn. Para sastrawan memiliki komitmen untuk menghasilkan karya sastra Islam, tidak menagrang semata-mata untuk menjelma kepada ”macam kertas” denagn doktrin sastra untuk sastar. Juga bukan tipikal pengarang yang mengagung-agungkan kebebasan tan pa batas dalam berekspresi dan menelan mentah-mentah perkataan sastra Human reality is free, basicakly and completely free.
3. Mengapakah Dengan Sastra Islam Indonesia ?
Kemengapaan Sastra Islam Indonesia berkait dengan masalah keberadaannya.
Sastra Islam Indonesia selama ini tidak diperdulikan umat Islam Indonesia. Terakhir ini terpopuler karena karya sastra novel Ayat-ayat Cinta. Habibburahman EL Shirazy yang tetlah pula difikirkan. Membuat umat kaset dan rersentak serta bangga.
Menggapa tidak diperdulikan. Sejarahnya karena Belanda melarang karya-karya sastra bertemu agama khususnya dan tema religius Islam. Sampai-sampai A. Tew berpendapat bahwa karya sastra Novel Hamka adalah roman murahan atau novel populer.
Sastra Islam Indonesia juga dipinggirkan buktinya diperguruan-perguruan Islam, kajian sastra Islam Indonesia tidak ada. Para sarjana Islam masih menganggap tidak penting menelaah dan mendalami sastra Islam Indonesia.
Jika mau jujur sastra Islam Indonesia sudah ada sejak sastra Indonesia ada. Keberadaannya dalam sejarah sastra Indonesia tidak dapat dipinggiri. Jika ada yang memungkiri berarti melupakan keadaan yang sebenarnya. Oleh karewna itu umat Islam dan sastrawan Islamharus mempelajari lebih serius lagi sastra Islam Indonesia.
Khasanah sastra Islam Indonesia merupakan khasanah Umat Islam Indonesia telah banyak menghasilkan karya sastra Islam Indonesia.
Sastra Islam Indonesia adalah sastra Indonesia bercorak Islam. Atau sastra Indonesia bertema dan bernuansa Islam. Atau sastra Islam Indonesia adalah sastra berwacana Islam.
Medan, 28 Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA
Herfanda, A, Y, 2004, “ Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius,” dalam Republika, Jakarta
Purba, A, 2005, ” Sastra Islam Sastra karena ALLAH,” dalam Mimbar Umum, Medan
Purba, A, 2005, ”Hamka dan Amir Hamzah Pelopor Sastara Islam Indonesia,” dalam Waspada, Medan
Purba, A, 2006, ” Sastra Sekuler Kontra Sastra Islam,” dalam Mimbar Umum, Medan
Purba, A, 2007, Kompleksitas Sastra Indonesia, USU Press, Medan
Purba, A, 2008, Sastra Bangsa Indonesia, USU Press, Medan
Medan, 28 Juli 2008
Oleh : Antilan Purba
Tiga pertanyaan penting yang termasuk dalam judul makalah. Pertama, apakah sastra Islam Indonesia. Kedua, bagaimanakah sastra Islam Indonesia. Ketiga, mengapa dengan Sastra Islam Indonesia. Dengan pembahasan ini pengetahuan, pemahaman tentang keapaan, kebagaimanaan dan kemengapaan Sastra Islam Indonesia semakin luas.
1. Apakah Sastra Islam Indonesia ?
Sebelum dibahas pengertian Sastra Islam Indonesia, pengertian sastra keagamaan perlu diuraikan. Istilah sastra keagamaan disinonimkan dengan satra religius. Sastra keagamaan adalah sastar yang menampilkan persoalan keagamaan. Dalam artikel Posisi Sastra Keagamaan Kita Dewasa Ini, Goenawan Muhammad berpengertian bahwa sastra keagamaan, genreyang bermaksud dengan sadar memberikan jawaban situasi berbasiskan nilai-nilai yang bersifat tradisional keagamaan.
Sutan Takdir Alisjahbana berpengertian bahwa sastra keagamaan adalah sastra yang menjelmakan perasaan keagamaan. Perasaan keagamaan diartikan sebagai dua hal, yaitu sebagai perasaan yang bertaut dengan agama; dan perasaan “bertuhan” dalam kalbu setiap manusia yang mengacu pada agama tertentu.
Dalam Reigiositas Alam dari Suredisme ke Spritualisme D. Jawawi Imran, Abdul wachid, B. S, berpengertian bahwa kesusastraan religius jika di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Kesusastraan religus selalu membicarakan persoalan kemanusian yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.
Dalam artikel Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius, Ahmadun Yosi Herfanda berpengertian bahwa sastra religius adalah karya sastra yang memancarkan semangat untuk setia pada hati nurani serta sifat-sifat dan Kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Karena sastra lahir dari nurani kreatif yang berfitrah religius, maka semangat religius sesungguhnya merupakan semangat yang paling fitrah (hakiki). (Republika, Ahad, 1 Agustus 2004, 8, Budaya).
Sastra keagamaan itu bisa berbentuk tiga macam. Pertama, membentuk sastra keagamaan yang dianalogikan pada kitab suci tertentu. Kedua, sastra keagamaan yang dilahirkan dari kesadaran atau naluri bertuhan yang mengacu pada satu ajaran agama hingga lebih bersifat nilai yang universal. Ketiga, sastra keagamaan yang ditulis dengan semangat religi untuk berdakwah bagi agama tertentu.
Istilah sastra Islam diistilahkan juga sastra Islami (Emha Ainun Najib), sastra pencerahan (Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufitstik (Abdul Hadi, W. M), sastra zikir (Taufik Ismail), sastra transendental (Sutarji Calzom Bahri), sastra terlibat dunia dalam (M. Fudoli Zain).
Istilah sastra Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Hamka pada 1930-an. Beliau adalam pelopor sastra Islam Indonesia. Novel Islamnya berjudul Tengelamnya kapal Van Der Wicjk (1938) dan Di Bawah Lindungan Kakbah (1938). Dalam kedua novelnya telah disimbolkan perjalanan spritual dan ibadah yang wajib dilakukan seorang muslin yang baik.
Hamka, dkk berpengetian sastra Islam adalah sastra untuk kebaktian kehadirat Allah. Dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam, 15 Desember 1963 di Jakarta dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan, 17 Agustus 1963 para seniman, kebudayaan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaluddin Malik merumuskan bahwa kesenian (kesusastraan) Islam adalah manifestasi dari rasa, karsa dan cipta dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan umat manusia. Sastra Islam adalah sastra karena Allah untuk manusia yang dihasilkan para seniman muslim yang bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah Insani (dalam Helvi Tiana Rosa, 2003 : 5).
A.A Navis berpengertian bahwa sastra Islam adalah sastra yang melukiskan kebenaran, kesempurnaan dan keindahan yang mengandung kaidah syariat Islam yang dituliskan oleh sastrawan muslim dan memahami teologi Islam serta hasilnya akan menjadi ingat kepada Allah dan berfaedah untuk manusia.
Dalam artikel Sastra Islam dan Dakwah Islamiah A. Husin Syarnubi berpengertian sastar Islam adalah sastra yang berjiwa Islam sesuai dengan konsep Islam yang mengandung amanat yang disampaikan kepada manusia, yaitu berbuat baik, mencegah berbuat munkar (Telita, Rabu, 19 Oktober 1988 : VI).
Emha Ainun Nadjip pada 1995, berpengertian bahwa sastar Islam adalah suatu kerja kesusastraan dalam suatu kerangka kesadaran nilai keislaman baik formal maupun informal, eksplisit maupun inplisit (Purba, 2006, 5).
Berbasis pengertian di atas jelas bahwa sastra Islam adalah sastra karena dan untuk Allah yang ditulis sastrawan Islam berdasarkan ajaran Islam demi mengingatkan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sastar Islam Indonesia adalah sastra Islam yang berbahasa Indonesia yang melukiskan kebenaran, kesempurnaan, dan keindahan yang mengandung kaidah menurut syariat Islam yang ditulis sastrawanmuslim Indonesia dan memahami teologi Islam serta hasilnya akan membuat manusia ingat kepada Allah dan berfaedah untuk manusia (Purba, 1999 :4).
Umumnya disepakati bahwa karya sastar Hamka, Amir Hamzah, Ali Hasjmy, Rirai Ali, Taufik Ismail, Goenawan Muhammad, Emha Ainun Nadjib merupakan karya sastar religius Islam. Lalu muncul generasi muda seperti Ahmadun Yose Herfanda, Matori Al Elwa, Abdul Warhid, B.S Abidah Ek Khailagy, Ulfatia Jamal.D Rahman. Kemudian disusul oleh kelompok Forum Lingkar Pena (FLP), Hely Tiana Rosa, dkk.
2. Bagaimanakah Sastra Islam di Indonesia ?
Kebagaimanan sastra Islam Indonesia berkait dengan konsep yang mendasarinya dan ciri-cirinya. Tiga konsep dasar sastra Islam Indonesia, yaitu tauhid, tegas dalam prinsip dan iman dan amal saleh. Pertama konsep dasar sastra Islam adalah tauhid. Sebab, dasar ajaran Islam adalah tauhid, atau menegaskan Allah. Jiwa Tauhid mendorong sastrawan muslim menyampaikan sastranya. Ajaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulullah adalah ajaran dasar Islam. Tuhan menurut konsep dasar Islam adalah Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidan ada yang serupa denganNya. Dia yang menciptakan dan memelihara alam, sedang manusia yang diciptakan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan ijinNya.
Kedua, konsep dasar sastra Islam adalah tegas dalam Prinsip. Oleh karena itu, dituntut konsep dasar ini muncul ke permukaan. Hikmah bijaksana adalah metode dalam Islam. Melalui cara ini, lahir karya sastra yang menarik pembaca sehingga manusia semakin tertarik dengan Islam. Berusaha mempelajari Islam dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, konsep dasr sastra Islam adalah iman dan anak saleh. Hal ini dilandasi oleh QS Asy Syu’ara:224:227, yaitu : ”Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat” . ”Tidaklah engkau melihat sesungguhnya mereka mengembara pada tiap-tiap lembah. Dan sesungguhnya mereka mengatakan apa tidak mereka kerjakan. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan banyak mengingat Allah dan mereka mendapat pertolongan sesudah mnereka dianiaya. Dan orang-orang zalim itu akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”
3. Ciri-Ciri Sastra Islam
Berbagai sastra Islam yang dikemukaakan di bawah ini . pada tahun 1987, Atmo Suwito mengemukakan ciri-ciri sastra Islam, yaitu:
1. Penyerahan diri, tunduk dan taan kepada Sang Pencipta
2. Kehidupan yang penuh denagn kemuliaan
3. Perasaan batin yang penuh dengan kemuliaan
4. Perasaan berdosa
5. Perasaan takut
6. Mengakui kebesaran Tuhan (dalam Ahmad, S.Reimi, 2001 :8)
Helvi Tiana Rosa mencirikan satra Islam sebagai berikut :
1. Sastra Islam tidak akan melaalikan pembacanya dari dzikrullah. Ketika kita membaac, kita akan diingatkan kepada ayat-ayat kauliyah maupun kauniyah-Nya. Ada unsur amar makruf nahyi munkar denagn tanpa mengurangi ibrah dan hikmah. Ia kepar bercerita tentang cinta, baik pada Allah dan sesama makhluk, sesama manusia, hewan, tumbuhan, alam raya.
2. sastar Islami lahir dari tangan seorang Muslim yang memiliki ruliyah Islam yang kuat dan wawasan Islam yang luas. Penilaian apakah karya tersebut daapt disebut sastar Islam atau tidak, bukan hanya dilihat pada karya semaat, namun juga dari pribadi pengarang, proses pembuatannya hingga dampaknya pada masyaarkat. Sastar Islam bagi pengarang adalah suatu pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan paad umat dan Allah. Sastra dalam kehidupan seorang muslim dan muslimah pengarang adalah bagian dari ibadah. Sang penagrang, kehidupan Islam dan karyanya menjelma satu kesatuan.
3. karya sastar Islam tidak akan pernah mendeskripsikan hubungan badani, kemolekan tubuh perempuan atau betapa indahnay kemaksiatan secara vulgar denagn mengatasnamakan seni atau aliran sastar apapun. Ia juga tak membawa kita pada tasyahbid bil kuffur, apalagi jenjang kemusyrikan.
4. sastra Islam harus berpihak pada kebenaran dan keadialn. Para sastrawan memiliki komitmen untuk menghasilkan karya sastra Islam, tidak menagrang semata-mata untuk menjelma kepada ”macam kertas” denagn doktrin sastra untuk sastar. Juga bukan tipikal pengarang yang mengagung-agungkan kebebasan tan pa batas dalam berekspresi dan menelan mentah-mentah perkataan sastra Human reality is free, basicakly and completely free.
3. Mengapakah Dengan Sastra Islam Indonesia ?
Kemengapaan Sastra Islam Indonesia berkait dengan masalah keberadaannya.
Sastra Islam Indonesia selama ini tidak diperdulikan umat Islam Indonesia. Terakhir ini terpopuler karena karya sastra novel Ayat-ayat Cinta. Habibburahman EL Shirazy yang tetlah pula difikirkan. Membuat umat kaset dan rersentak serta bangga.
Menggapa tidak diperdulikan. Sejarahnya karena Belanda melarang karya-karya sastra bertemu agama khususnya dan tema religius Islam. Sampai-sampai A. Tew berpendapat bahwa karya sastra Novel Hamka adalah roman murahan atau novel populer.
Sastra Islam Indonesia juga dipinggirkan buktinya diperguruan-perguruan Islam, kajian sastra Islam Indonesia tidak ada. Para sarjana Islam masih menganggap tidak penting menelaah dan mendalami sastra Islam Indonesia.
Jika mau jujur sastra Islam Indonesia sudah ada sejak sastra Indonesia ada. Keberadaannya dalam sejarah sastra Indonesia tidak dapat dipinggiri. Jika ada yang memungkiri berarti melupakan keadaan yang sebenarnya. Oleh karewna itu umat Islam dan sastrawan Islamharus mempelajari lebih serius lagi sastra Islam Indonesia.
Khasanah sastra Islam Indonesia merupakan khasanah Umat Islam Indonesia telah banyak menghasilkan karya sastra Islam Indonesia.
Sastra Islam Indonesia adalah sastra Indonesia bercorak Islam. Atau sastra Indonesia bertema dan bernuansa Islam. Atau sastra Islam Indonesia adalah sastra berwacana Islam.
Medan, 28 Juni 2008
DAFTAR PUSTAKA
Herfanda, A, Y, 2004, “ Membongkar Ruang Sempit Sastra Religius,” dalam Republika, Jakarta
Purba, A, 2005, ” Sastra Islam Sastra karena ALLAH,” dalam Mimbar Umum, Medan
Purba, A, 2005, ”Hamka dan Amir Hamzah Pelopor Sastara Islam Indonesia,” dalam Waspada, Medan
Purba, A, 2006, ” Sastra Sekuler Kontra Sastra Islam,” dalam Mimbar Umum, Medan
Purba, A, 2007, Kompleksitas Sastra Indonesia, USU Press, Medan
Purba, A, 2008, Sastra Bangsa Indonesia, USU Press, Medan
Medan, 28 Juli 2008
SASTRA INDONESIA BERWARNA LOKAL
Oleh : Antilan Purba
Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Apa sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimana pandangan pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimanakah sejarah awal perkembangan sastra Indonesia berwarna lokal? Berapa jeniskah sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah nilai sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah sikap pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal ?
Ketujuh pertanyaan ini sebenarnya masih dapat diperbanyak lagi. Namun, ketujug pertanyaan itu sudah mewakili dasar-dasar sastra Indonesia berwana lokal yang perlu diuraikan. Penguraian ini diharapkan akan membuka cakrwala pemikiran tentang sastra Indonesia berwana lokal. Dengan demikian penilaian dan pemanfaatan sastra Indonesia berwarna lokal dapat dilakukan dan dikembangkan dalam karya sastra kreatif dalam puisi, cerita pendek, maupun novel.
Mengapa Ada
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat baru. Di dalamnya terdapat masyarakat lama atau masyarakat Indonesia terdiri atau dibangun masyarakat baru yang sekaligus masyarakat lama atau etnis. Seniman sastra atau sastrawan hidup dalam dua dunia sosial budaya etnis dan dunia sosial budaya Indonesia.
Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Jawabnya, karena terdapat bentuk sastra yang lahir melalui perjumpaan dan kesepakatan antarsosial budaya etnis dengan sosial budaya lainnya, termasuk budaya, agama, bahkan budaya Barat. Di dalam perjalanannya sosial budaya etnis masih berperan sebagai subjek dalam pembentukan nilai baru. Kebaruan produk yang ikut serta atau dibawa dalam sastra Indonesia.
Selain itu, karena nilai-nilai sosial budaya lama atau etnis atau tradisional bukanlah sebagai sisa atau bekas dalam karya sastra Indonesia yang diciptakan sastrawan. Warna lokal tidak hanya pada kulit luarnya, tetapi terdapat pada nilai esensinya. Demikian juga, karena nilai-nilai sosial etnis/ lama masih cukup mendalam penghayatannya, khususnya generasi sastrawan 1960-an.
Sastra Indonesia Berwarna Lokal
Istilah warna lokal tidak diketahui secara pasti dipergunakan di Indonesia. Namun secara histeris sastra Indonesia telah mencatat dua periode munculnya warna lokal secara besar-besaran. Yaitu periode sebelum perang dunia I dengan warna lokal Minangkabau. Priode sesudahnya dengan warna lokal daerah nusantara. Tentu saja dua priode pemunculan warna lokal ini bukanlah priode sepanjang sejarah perjalanan sastra Indonesia, warna lokal tetap hadir. Kehadirannya tetap menunjuk pada kenyataan sosial budaya banyak daerah ( Mahmud, 1984:25).
Pradopo berpendapat sama dengan Mahmud. Ia mengungkapkan bahwa akhir sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru mulai tampak unsur kedaerahan di dalam sastra nasional, entah disadari atau tidak. Unsur kedaerahan itu berupa latar sosial budaya Minangkabau, Bali dan Jawa (1995:61).
Istilah warna lokal digunakan Jakub Sumardjo (1979), Kusman K Mahmud (1981), AA Navis (1985), Abdul Rozak Zaidah, Anita K Rustapa dan Haniah (1994). Istilah yang dipadamkan dengan warna lokal, “ Persoalan daerah dalam sastra Indonesia” (Mahmud,1987), “Unsur-unsur dan budaya tradisional atau etnis (Mursal, 1990), “ Sensasibilitas lokal ( Kuntowijoyo, 1994), (Purba,2006:43).
Istilah warna lokal juga dapat disamakan dengan warna daerah atau warna etnis. Semua berkait dengan budaya lokal, budaya tradisional, budaya daerah, dan budaya etnis. Istilah lain yang juga sering digunakan sebagai warna lokal adalah corak setempat warna tempatan, atau local colour (Inggris), atau coucar local (Prancis).
Pengertian sastra warna lokal adalah gambaran daerah terlalu seperti pakaian, sopan santun, dialek yang melatari kehidupan tokoh dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif. Warna temapatan, misalnya Minangkabau dalam beberapa novel Balai Pustaka (Zaidan, dkk, 1994:214).
Sastra warna tempatan adalah penggambaran, corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat (Sudjiman, 1970:17-18).
Sastra warna lokal pada hakikatnya adalah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya sastra. Secara intrinsik dalam struktur karya sastra warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Dalam kontek sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup, yaitu kenyataan sosial budaya secara luas. Komponen-komponennya antara lain adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, struktur sosial atau sistem kekerabatan ( Mahmud, 1987:25)
Sastra warna lokal atau setempat adalah sastra berwarna daerah dengan pelukisan-pelukisan daerah serta kekhasannya baik secara geografis maupun secara sosial cultural. Tema, tempat, waktu, suasana, tokoh, dan bahasa atau dialek turut menentukan warna lokal atau setempat.
Sastra warna lokal memberikan informasi kepada para pembaca mengenai suatu daerah baik mengenai keadaan alamnya maupun keadaan penduduknya (tokoh-tokohnya) Seperti adat istiadat, sifat, struktur masyarakat, bahkan sejarah dan bahasanya.
Apakah pengertian sastra Indonesia berwana lokal? Berbasis pada pengertian sastra warna lokal di atas dapat dirumuskan pengertian sastra Indonesia berwana lokal sebagai berikut
1. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan
Suatu daerah tertentu, seperti pakaian, sopan santun, dailek yang melatari kehidupan tokoh dalam sastra Indonesia.
2. Sastra Indonesia berwana lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan corak atau ciri khas suatu daerah atau masa tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan kisahan yang menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak, sikap, dan lingkungan tokohnya juga mendukung corak setemapat.
3. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas. Secara interinsik dalam suatu karya sastra Indonesia bberwarn lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, dan stukrtul sosial.
Ciri-ciri Sastra Indonesia Berwarna Lokal
Jika diperhatikan secara cermat beberapa pengertian sastra warna lokal, dan sastra Indonesia berwarna lokal di atas, maka akan ditemukan cirinya.
1. Pemakaian bahasa daeerah atau kata-kata daerah dalam karya sastra Indonesia.
2. Pemakaian gaya bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia.
3. Penggambaran geografis atau alam suatu daerah tertentu dalam karya sastra Indonesia.
4. Penggambaran latar belakang tokoh dan penokohan daerah yang terdapat dalam karya sastra Indonesia.
5. Penggambaran cara berpakaian, makan dan minum suatu masyarakt daerah yang dalam karya sastra Indonesia.
6. Penggambaran adat istiadat, agama, dan kepercayaan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
7. Penggambaran sikap, filsafat hidup suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
8. Penggambaran hubungan sosial, dan sistem sosial, atau sistem kekerabatan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
9. Penggambaran budaya daerah dalam karya sastra Indonesia.
Sastra Indonesia berwarna lokal juga dicirikan Sastrawardoyo, yaitu yang mencirikan warna lokal bukan hanya pemakaian bahasa (kata ungkapan, melainkan juga cara adat istiadat tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, cerita rakyat, dan kepercayaan yang khas bagi suatu daerah (dalam Purba, 2006:222-223).
Misalnya Atheis yang khasnya berlaku di Bandung. Gejala kehidupan masyarakat muda kota itu yang memberi warna lokal. Demikian juga dalam Burung-burung Mayar Y.B. Mangunwijaya yang menampilkan warna lokal daerh Jawa Tengah dalam cara hidup dan berperilaku tokoh-tokoh seperti Larasasti, dan terutama dalam kata yang khas dipakai di daerah itu.
Mengapa sastrawan memakai kata dan istilah bahasa daerah?
Pertama, sastrawan dalam lingkungan bahasa daerah merasa bahwa bahasa Indonesia kurang bersifat ekspresif. Dibanding dengan bahasa daerah seperti bahasa daerah seperti bahasa Jawa misalnya, bahasa Indonesia kurang mampu menjelaskan sesuatu secara ekonomis dan tepat sehingga dengan satu kata dapat dinyatakan hal atau peristiwa yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan dengan banyak kata. Misalnya Limus mempergunakan kata “menunjuk” atau “mbok-mbokan” yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan secara pan jang dan tidak langsung mengena pada itinya. Kira-kira seperti ini artinya “ mengangkat kepala untuk diletakan lebih ke atas bantal setelah merosot” dan “masih bergantung pada ibunya”.
Kedua, ada hal atau barang yang hanya khas terdapat di suatu daerah tertentu tidak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya berbagai nama binatang, makanan, dan konsep. Misalnya Ahmad Tohari dalam novelnya membiarkan bahasa daerah dalam bentuk aslinya karena tidak ada padamnya dalam bahasa Indonesia. Seperti kerokot (tanaman), tempe bengkrek (makanan), perawan kencur (tahapan perkembangan gadis), gansir, walang kekek, codot (binatang).
Ketiga, warna lokal dibangkitkan dengan penggunaan istilah dan ungkapan dalam bahasa mempunyai corak realisme dalam karya sastra. Misalnya warna lokal yang terungkap dalam kata-kata setempat yang merujuk pada jenis makanan, adat istiadat, kepercayaan rakyat, arsitektur rumah yang memberi suasana khas yang nyata dalam lingkungan hidup yang dipaparkan sastrawan.
Sikap Pembaca Terhadapnya
Ada sikap negatif terhadap sastra Indonesia bewarna lokal. Selain itu ada sikap positf. Dan sikap ini dilatarbelakangi oleh dua pandangan dan pengetahuan terhadapnya. Adalah wajar jika hal demikian terjadi jika hal demikian terjadi. Hany, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap sastra Indonesia yang berwarna lokal itu?
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal berdasarkan pada awalnya kebingungan. Pembaca karya sastra binggung sebab tak mengenal bahasa yang digunakan dalam karya tersebut bahkan sangat banyak atau berlebihan bahasa yang tak dikenal.
Sikap negatif lainnya didasarkan anggapan bahwa karya sastra Indonesia yang berwarna lokal akan melahirkan sastra model ini akan memperjauh jarak hubungan antarpembaca sastra Indonesia. Primodilis pembaca akan lebih menonjol. Kepluralan masyarakat akan terganggu.
Anggapan lainnya, sikap negatif muncul, karena sastra Indonesia berwarna lokal hanya mencari identitas diri tanpa memperdulikan identitas lainnya.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal didasarkan bahwa karya sastra Indonesia yang beragam budaya, suku, masyarakat, dan kepercayaan. Sastrawan hidup dan berkarya tidak terlepas dari keadaan “ Bhineka Tunggal Ika” atau masyarakat prular.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal juga didasarkan bahwa aspek lokalitas tidak hanya sebagai gaya ucapan atau corak baru yang cenderung etnosentris. Akan tetapi telah diolah menjadi aspek yang terbuka dan memperkaya keprularan masyarakat dan budaya Indonesia.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal akan memperluas wawasan terhadap budaya lokal lainnya dan meningkatkan penghargaan pluralitas yang hakiki dalam kehidupannya nyata. Pengenalan, pemahaman, dan pengahayatan yang tinggi terhadap nilai-nilai budaya lokal lainnya akan tumbuh rasa kedekatan batin dan kerja sama ikhlas antar budaya lokal.
Nilai-nilai kehidupan budaya lokal yang terdapat dalam karya sastra Indonesia meliputi antara lain, ungkapan setempat/lokal, cara berpakaian, adat istiadat, tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, kepercayaan yang khas dalam suatu daerah.
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal seyogianya diubah menjadi bersikap positif dengan mengenal, memahami, dan memperluas serta meningkatkan pandangan yang lebih terbuka tentang budaya lokal lainnya. Dengan keadaan yang upaya kesalingtoleransian akan terwujud dalam kehidupan nyata yang berkesadaran warna lokal.
Keterbukaan suatu wahana peningkatan pengapresiasian sastra Indonesia berwarna lokal untuk kebersamaan keIndonesiaan yang beragam yang berpengetahuan dan berwawasan baik utuh serta keikhlasan.
Medan,2009
Oleh : Antilan Purba
Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Apa sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimana pandangan pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimanakah sejarah awal perkembangan sastra Indonesia berwarna lokal? Berapa jeniskah sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah nilai sastra Indonesia berwana lokal? Bagaimanakah sikap pembaca terhadap sastra Indonesia berwarna lokal ?
Ketujuh pertanyaan ini sebenarnya masih dapat diperbanyak lagi. Namun, ketujug pertanyaan itu sudah mewakili dasar-dasar sastra Indonesia berwana lokal yang perlu diuraikan. Penguraian ini diharapkan akan membuka cakrwala pemikiran tentang sastra Indonesia berwana lokal. Dengan demikian penilaian dan pemanfaatan sastra Indonesia berwarna lokal dapat dilakukan dan dikembangkan dalam karya sastra kreatif dalam puisi, cerita pendek, maupun novel.
Mengapa Ada
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat baru. Di dalamnya terdapat masyarakat lama atau masyarakat Indonesia terdiri atau dibangun masyarakat baru yang sekaligus masyarakat lama atau etnis. Seniman sastra atau sastrawan hidup dalam dua dunia sosial budaya etnis dan dunia sosial budaya Indonesia.
Mengapa ada sastra Indonesia berwarna lokal? Jawabnya, karena terdapat bentuk sastra yang lahir melalui perjumpaan dan kesepakatan antarsosial budaya etnis dengan sosial budaya lainnya, termasuk budaya, agama, bahkan budaya Barat. Di dalam perjalanannya sosial budaya etnis masih berperan sebagai subjek dalam pembentukan nilai baru. Kebaruan produk yang ikut serta atau dibawa dalam sastra Indonesia.
Selain itu, karena nilai-nilai sosial budaya lama atau etnis atau tradisional bukanlah sebagai sisa atau bekas dalam karya sastra Indonesia yang diciptakan sastrawan. Warna lokal tidak hanya pada kulit luarnya, tetapi terdapat pada nilai esensinya. Demikian juga, karena nilai-nilai sosial etnis/ lama masih cukup mendalam penghayatannya, khususnya generasi sastrawan 1960-an.
Sastra Indonesia Berwarna Lokal
Istilah warna lokal tidak diketahui secara pasti dipergunakan di Indonesia. Namun secara histeris sastra Indonesia telah mencatat dua periode munculnya warna lokal secara besar-besaran. Yaitu periode sebelum perang dunia I dengan warna lokal Minangkabau. Priode sesudahnya dengan warna lokal daerah nusantara. Tentu saja dua priode pemunculan warna lokal ini bukanlah priode sepanjang sejarah perjalanan sastra Indonesia, warna lokal tetap hadir. Kehadirannya tetap menunjuk pada kenyataan sosial budaya banyak daerah ( Mahmud, 1984:25).
Pradopo berpendapat sama dengan Mahmud. Ia mengungkapkan bahwa akhir sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru mulai tampak unsur kedaerahan di dalam sastra nasional, entah disadari atau tidak. Unsur kedaerahan itu berupa latar sosial budaya Minangkabau, Bali dan Jawa (1995:61).
Istilah warna lokal digunakan Jakub Sumardjo (1979), Kusman K Mahmud (1981), AA Navis (1985), Abdul Rozak Zaidah, Anita K Rustapa dan Haniah (1994). Istilah yang dipadamkan dengan warna lokal, “ Persoalan daerah dalam sastra Indonesia” (Mahmud,1987), “Unsur-unsur dan budaya tradisional atau etnis (Mursal, 1990), “ Sensasibilitas lokal ( Kuntowijoyo, 1994), (Purba,2006:43).
Istilah warna lokal juga dapat disamakan dengan warna daerah atau warna etnis. Semua berkait dengan budaya lokal, budaya tradisional, budaya daerah, dan budaya etnis. Istilah lain yang juga sering digunakan sebagai warna lokal adalah corak setempat warna tempatan, atau local colour (Inggris), atau coucar local (Prancis).
Pengertian sastra warna lokal adalah gambaran daerah terlalu seperti pakaian, sopan santun, dialek yang melatari kehidupan tokoh dalam karya sastra dan hanya bersifat dekoratif. Warna temapatan, misalnya Minangkabau dalam beberapa novel Balai Pustaka (Zaidan, dkk, 1994:214).
Sastra warna tempatan adalah penggambaran, corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat (Sudjiman, 1970:17-18).
Sastra warna lokal pada hakikatnya adalah realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas suatu karya sastra. Secara intrinsik dalam struktur karya sastra warna lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang penokohan, gaya bahasa, dan suasana. Dalam kontek sastra sebagai sistem tanda, warna lokal selalu dikaitkan dengan kenyataan hidup, yaitu kenyataan sosial budaya secara luas. Komponen-komponennya antara lain adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, struktur sosial atau sistem kekerabatan ( Mahmud, 1987:25)
Sastra warna lokal atau setempat adalah sastra berwarna daerah dengan pelukisan-pelukisan daerah serta kekhasannya baik secara geografis maupun secara sosial cultural. Tema, tempat, waktu, suasana, tokoh, dan bahasa atau dialek turut menentukan warna lokal atau setempat.
Sastra warna lokal memberikan informasi kepada para pembaca mengenai suatu daerah baik mengenai keadaan alamnya maupun keadaan penduduknya (tokoh-tokohnya) Seperti adat istiadat, sifat, struktur masyarakat, bahkan sejarah dan bahasanya.
Apakah pengertian sastra Indonesia berwana lokal? Berbasis pada pengertian sastra warna lokal di atas dapat dirumuskan pengertian sastra Indonesia berwana lokal sebagai berikut
1. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan
Suatu daerah tertentu, seperti pakaian, sopan santun, dailek yang melatari kehidupan tokoh dalam sastra Indonesia.
2. Sastra Indonesia berwana lokal adalah sastra Indonesia yang menggambarkan corak atau ciri khas suatu daerah atau masa tertentu serta pemakaian bahasa atau kata-kata daerah yang bersangkutan dengan kisahan yang menjadi lebih menarik dan keasliannya lebih tampak, sikap, dan lingkungan tokohnya juga mendukung corak setemapat.
3. Sastra Indonesia berwarna lokal adalah sastra Indonesia yang di dalamnya tergambar realitas sosial budaya suatu daerah yang ditunjuk secara langsung oleh fiksionalitas. Secara interinsik dalam suatu karya sastra Indonesia bberwarn lokal selalu dihubungkan dengan unsur-unsur pembangkitannya, yaitu latar belakang, penokohan, gaya bahasa, dan suasana, adat istiadat, agama, kepercayaan, sikap, filsafat hidup, hubungan sosial, dan stukrtul sosial.
Ciri-ciri Sastra Indonesia Berwarna Lokal
Jika diperhatikan secara cermat beberapa pengertian sastra warna lokal, dan sastra Indonesia berwarna lokal di atas, maka akan ditemukan cirinya.
1. Pemakaian bahasa daeerah atau kata-kata daerah dalam karya sastra Indonesia.
2. Pemakaian gaya bahasa daerah dalam karya sastra Indonesia.
3. Penggambaran geografis atau alam suatu daerah tertentu dalam karya sastra Indonesia.
4. Penggambaran latar belakang tokoh dan penokohan daerah yang terdapat dalam karya sastra Indonesia.
5. Penggambaran cara berpakaian, makan dan minum suatu masyarakt daerah yang dalam karya sastra Indonesia.
6. Penggambaran adat istiadat, agama, dan kepercayaan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
7. Penggambaran sikap, filsafat hidup suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
8. Penggambaran hubungan sosial, dan sistem sosial, atau sistem kekerabatan suatu masyarakat daerah dalam karya sastra Indonesia.
9. Penggambaran budaya daerah dalam karya sastra Indonesia.
Sastra Indonesia berwarna lokal juga dicirikan Sastrawardoyo, yaitu yang mencirikan warna lokal bukan hanya pemakaian bahasa (kata ungkapan, melainkan juga cara adat istiadat tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, cerita rakyat, dan kepercayaan yang khas bagi suatu daerah (dalam Purba, 2006:222-223).
Misalnya Atheis yang khasnya berlaku di Bandung. Gejala kehidupan masyarakat muda kota itu yang memberi warna lokal. Demikian juga dalam Burung-burung Mayar Y.B. Mangunwijaya yang menampilkan warna lokal daerh Jawa Tengah dalam cara hidup dan berperilaku tokoh-tokoh seperti Larasasti, dan terutama dalam kata yang khas dipakai di daerah itu.
Mengapa sastrawan memakai kata dan istilah bahasa daerah?
Pertama, sastrawan dalam lingkungan bahasa daerah merasa bahwa bahasa Indonesia kurang bersifat ekspresif. Dibanding dengan bahasa daerah seperti bahasa daerah seperti bahasa Jawa misalnya, bahasa Indonesia kurang mampu menjelaskan sesuatu secara ekonomis dan tepat sehingga dengan satu kata dapat dinyatakan hal atau peristiwa yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan dengan banyak kata. Misalnya Limus mempergunakan kata “menunjuk” atau “mbok-mbokan” yang dalam bahasa Indonesia harus diuraikan secara pan jang dan tidak langsung mengena pada itinya. Kira-kira seperti ini artinya “ mengangkat kepala untuk diletakan lebih ke atas bantal setelah merosot” dan “masih bergantung pada ibunya”.
Kedua, ada hal atau barang yang hanya khas terdapat di suatu daerah tertentu tidak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia. Misalnya berbagai nama binatang, makanan, dan konsep. Misalnya Ahmad Tohari dalam novelnya membiarkan bahasa daerah dalam bentuk aslinya karena tidak ada padamnya dalam bahasa Indonesia. Seperti kerokot (tanaman), tempe bengkrek (makanan), perawan kencur (tahapan perkembangan gadis), gansir, walang kekek, codot (binatang).
Ketiga, warna lokal dibangkitkan dengan penggunaan istilah dan ungkapan dalam bahasa mempunyai corak realisme dalam karya sastra. Misalnya warna lokal yang terungkap dalam kata-kata setempat yang merujuk pada jenis makanan, adat istiadat, kepercayaan rakyat, arsitektur rumah yang memberi suasana khas yang nyata dalam lingkungan hidup yang dipaparkan sastrawan.
Sikap Pembaca Terhadapnya
Ada sikap negatif terhadap sastra Indonesia bewarna lokal. Selain itu ada sikap positf. Dan sikap ini dilatarbelakangi oleh dua pandangan dan pengetahuan terhadapnya. Adalah wajar jika hal demikian terjadi jika hal demikian terjadi. Hany, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap sastra Indonesia yang berwarna lokal itu?
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal berdasarkan pada awalnya kebingungan. Pembaca karya sastra binggung sebab tak mengenal bahasa yang digunakan dalam karya tersebut bahkan sangat banyak atau berlebihan bahasa yang tak dikenal.
Sikap negatif lainnya didasarkan anggapan bahwa karya sastra Indonesia yang berwarna lokal akan melahirkan sastra model ini akan memperjauh jarak hubungan antarpembaca sastra Indonesia. Primodilis pembaca akan lebih menonjol. Kepluralan masyarakat akan terganggu.
Anggapan lainnya, sikap negatif muncul, karena sastra Indonesia berwarna lokal hanya mencari identitas diri tanpa memperdulikan identitas lainnya.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal didasarkan bahwa karya sastra Indonesia yang beragam budaya, suku, masyarakat, dan kepercayaan. Sastrawan hidup dan berkarya tidak terlepas dari keadaan “ Bhineka Tunggal Ika” atau masyarakat prular.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal juga didasarkan bahwa aspek lokalitas tidak hanya sebagai gaya ucapan atau corak baru yang cenderung etnosentris. Akan tetapi telah diolah menjadi aspek yang terbuka dan memperkaya keprularan masyarakat dan budaya Indonesia.
Sikap positif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal akan memperluas wawasan terhadap budaya lokal lainnya dan meningkatkan penghargaan pluralitas yang hakiki dalam kehidupannya nyata. Pengenalan, pemahaman, dan pengahayatan yang tinggi terhadap nilai-nilai budaya lokal lainnya akan tumbuh rasa kedekatan batin dan kerja sama ikhlas antar budaya lokal.
Nilai-nilai kehidupan budaya lokal yang terdapat dalam karya sastra Indonesia meliputi antara lain, ungkapan setempat/lokal, cara berpakaian, adat istiadat, tingkah laku, cara berpikir, lingkungan hidup, sejarah, kepercayaan yang khas dalam suatu daerah.
Sikap negatif terhadap sastra Indonesia berwarna lokal seyogianya diubah menjadi bersikap positif dengan mengenal, memahami, dan memperluas serta meningkatkan pandangan yang lebih terbuka tentang budaya lokal lainnya. Dengan keadaan yang upaya kesalingtoleransian akan terwujud dalam kehidupan nyata yang berkesadaran warna lokal.
Keterbukaan suatu wahana peningkatan pengapresiasian sastra Indonesia berwarna lokal untuk kebersamaan keIndonesiaan yang beragam yang berpengetahuan dan berwawasan baik utuh serta keikhlasan.
Medan,2009

Hasil Karya yang diterbitkan :
- Kompetensi Komunikatif Bahasa Indonesia : Ancangan Sosiologuistik Universitas Sumatera Utara Press, 1996.
- Bahasa, Sastra dan Wacana, Universitas Sumatera Utara Press, Medan: 1997
- Kompetensi Komunikatif , Teori dan Terapan dalam Pembelajaran Bahasa dan Penelitian Bahasa, USU Press, Medan 1998.
- Sastra Indonesia Kontemporer, USU Press, Medan :2001
- Pragmatik, USU Press, Medan : 2002
- Kompleksitas Sastra Indonesia , USU Press, Medan : 2007
- Sastra Bangsa Indonesia, USU Press, Medan: 2008
- Bahasa Indonesia Baku Pemakaiannya dengan Baik dan Benar, USU Press, Medan : 2008
- Politik Sastra Indonesia, USU Press, Medan:2008
- Esai Sastra Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta : 2008
- Stilistika Sastra Indonesia: Kaji Bahasa Karya Sastra, USU Press, Medan : 2009
- Sastra dan Manusia, USU Press, Medan :2009

Antilan Purba, lahir di Pemantang Siantar, Simalungun, Sumatera Utara pada tanggal 08 Maret 1958. Menamatkan SD Hikmah (197a2) dan SMP Negeri (1975) di Pemantang Bandar, SMA Negeri di Perdagangan (1979). Menyelesaikan studi dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia , FPBS IKIP Medan (Sekarang Fakultas Bahasa dan Seni FBS-Unimed) dengan skripsi Hubungan Penguasaaan Pengetahuan Bahasa dan Keterampilan Membaca Pemahaman Siswa SMA, 1984. Memperoleh gelar Magister Pendidikan Jurusan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dari Program Pascasarjana (PPs) IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia Bandung) 1995 dengan tesis Kompetensi Komunikasi Lisan. Dosen : Studi Kualitatif Empat Orang Dosen di dalam Pemakaian Bahasa Indonesia Baku Lisan sebagai Bahasa Ceramah di FPBS IKIP Medan.
Ia menjadi dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FPBS IKIP Medan sejak dari 1986 sampai sekarang . Ia juga pernah mengajar di SMP dan SMA (1984-1988) di Yayasan Pesantren Modern Adnan dan Yayasan Pendidikan Prof. Dr.Kadirun Yahya, MA.
Langganan:
Komentar (Atom)
.jpg)